Kejagung Dalami Keterlibatan 8 Perusahaan di Kasus Impor Gula
Kejagung dalami keterlibatan 8 perusahaan di kasus impor gula--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyelidiki keterlibatan delapan perusahaan swasta dalam dugaan korupsi importasi gula yang melibatkan Kementerian Perdagangan pada 2015–2016.
Kejaksaan mempertimbangkan kemungkinan menetapkan status tersangka korporasi terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyatakan bahwa saat ini penyidik tengah mendalami bukti-bukti terkait peran dari setiap perusahaan dalam kasus ini.
"Penyelidikan masih di tahap awal. Kami akan menetapkan tersangka jika bukti-bukti sudah cukup kuat,” ujarnya di Gedung Kejagung.
Dua tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini, yaitu mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL) dan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Menurut Kejagung, kasus ini bermula ketika izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton diberikan pada PT AP, meski hasil rapat lintas kementerian pada 12 Mei 2015 menyimpulkan bahwa Indonesia tengah mengalami surplus gula dan tidak membutuhkan tambahan impor.
Izin impor tersebut, yang dikeluarkan tanpa koordinasi dengan Kementerian Perindustrian, menyebabkan adanya keputusan impor di tengah kondisi surplus gula nasional.
Pada akhir Desember 2015, dalam rapat koordinasi perekonomian, diputuskan bahwa Indonesia memerlukan tambahan 200.000 ton gula kristal putih untuk menjaga stabilitas harga dan stok nasional pada 2016.
Selama November–Desember 2015, tersangka CS dari PT PPI memerintahkan bawahannya untuk bertemu dengan delapan perusahaan swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI, guna membahas rencana impor gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Pada Januari 2016, Tom Lembong mengeluarkan penugasan resmi kepada PT PPI untuk melakukan kerja sama dengan produsen lokal, menugaskan perusahaan itu mengimpor dan mengolah 300.000 ton gula mentah menjadi gula kristal putih.
Namun, menurut Kejagung, impor gula kristal seharusnya dilakukan langsung dalam bentuk gula putih dan hanya oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT PPI.
Meskipun demikian, dengan persetujuan Tom Lembong, impor gula mentah tetap dilakukan, sementara delapan perusahaan yang dilibatkan hanya memiliki izin untuk produksi gula rafinasi.
Kejagung juga menuturkan bahwa gula kristal putih yang dihasilkan kemudian dijual melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram—melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram.
PT PPI hanya menerima imbalan Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan tersebut.
Akibat praktik ini, negara mengalami kerugian sekitar Rp400 miliar, yang merupakan keuntungan delapan perusahaan swasta yang seharusnya dimiliki BUMN atau PT PPI. (*)