Niat apakah yang muncul di lubuk hati saya saat memandu Dewa Cheng Ho itu? Biarlah hanya saya dan arwah Cheng Ho yang tahu. Kalau Tuhan kan sudah Mahatahu.
Ingatan saya lainnya adalah: halaman Rumah Gadang yang tidak kalah cantik di Surabaya. Sekitar 100 teman saya pasti lagi senam-dansa di sana. Pagi itu saya absen. Sedih. Maka saya bertekad: akan terus berjalan kaki, ikut arak-arakan Cheng Ho ini, sampai Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Itu berarti sekitar 6 km. Bisa menjadi pengganti senam-dansa.
Saya menyesal: mengapa tadi malamnya tidak naik panggung. Lalu senam dansa di atas panggung. Yakni di resepsi ulang tahun kedatangan Cheng Ho yang di halaman depan Kelenteng Tay Kak Sie.
Padahal penyanyinya keren semua: Tommy Su dan Sianne. Kan saya bisa minta mereka menyanyikan lagu Xiao Ping Guo atau Mei Hua yang saya bisa gerakan dansanya.
Malam itu praktis "malam tidak tidur" di Tay Kak Sie. Sepanjang malam orang berdatangan untuk sembahyang. Juga sibuk mempersiapkan arak-arakan keesokan harinya. Banyak yang terus latihan atraksi di halaman kelenteng.
Malam itu sekitar 400 dewa dari berbagai kelenteng Indonesia didatangkan ke Tay Kak Sie. Mereka meletakkan dewa-dewa mereka di altar besar. Sebelum subuh dewa-dewa itu diturunkan, dimasukkan tandu masing-masing untuk diarak ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong.
"Di mata orang Tionghoa, Cheng Ho itu siapa?" tanya saya pada Novi.
"Di mata kami Cheng Ho itu dewa," jawabnyi.
Tentu banyak pandangan tentang siapa Cheng Ho. Saya juga banyak membaca literatur tentang pelaut agung itu. Saya sudah ke pelabuhan pembuatan kapal-kapal Cheng Ho di Tiongkok sana.
Baru di Semarang ini saya tahu bahwa Cheng Ho adalah dewa. Mungkin Cheng Ho telah menginspirasi ribuan orang Tiongkok untuk berlayar ke selatan. Termasuk sampai ke wilayah yang kelak bernama Indonesia.
Kalau saya hanya berjalan tanpa kesibukan apa artinya saya ikut arak-arakan. Maka saya cari-cari pekerjaan. Apa yang bisa saya lakukan di sepanjang jalan itu.
Tentu saya juga memikirkan mengapa semua pemeluk agama begitu bergairah mengamalkan agama masing-masing. Sampai kadang menjelekkan agama tetangga.
Agama itu memang masuk akal –khusus bagi pengikutnya masing-masing.(Dahlan Iskan)