Jika ditelisik lebih jauh, gaya berkomunikasi "gertak lebih dulu" itu lebih merupakan cara orang beradaptasi dengan budaya di kota multikultur itu.
Medan memang kota yang menjadi bertemu banyak budaya dan etnis. Ada batak, jawa, tionghoa, minang, melayu, aceh, india, dan banyak lagi. Etnis yang berbeda juga membawa kebiasaan dan bahkan nilai yang berbeda pula.
Tapi justru di kota multikultur seperti Medan, orang dituntut untuk terbuka kepada budaya lain, melupakan sejenak norma-norma dalam budayanya sendiri, memahami norma-norma adat istiadat budaya lain, peduli kepada yang berbeda darinya, dan memahami atau mengakui adanya kaum minoritas.
Keharusan-keharusan ini menghasilkan kebiasaan baru yang berlaku untuk semua orang yang pada titik tertentu menjadi norma, yang pada titik tertentu bisa disebut kearifan lokal, seperti disebutkan C.W. Watson dalam bukunya "Multiculturalism".
Dalam kata lain, berbicara keras dan spontan, lebih merupakan cara berkomunikasi agar orang bertahan dan eksis.
Itu juga bisa menjadi cara masyarakat beradaptasi dengan kultur yang dianggap paling dominan di Medan, yakni batak, yang dikenal spontan dan melekat pada karakter orang Medan pada umumnya.
Indahnya, kekerasan bertutur itu tak mendorong satu pihak berusaha dominan terhadap yang lainnya.
Sebaliknya, tuntutan beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan yang lebih dulu ada, telah menciptakan sintesis, berupa sikap toleran dan inklusif yang jejaknya terlihat jelas di hampir semua sudut kota Medan.
Walau menjadi salah satu kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di Indonesia, ada banyak bukti yang memperlihatkan kota ini tetap dibalut harmoni yang menjunjung toleransi dan inklusifitas.
Di sini, seperti di semua kota besar lainnya di Indonesia, orang-orang berbeda agama bebas menjalankan keyakinan mereka, bahkan di beberapa sudut kota Medan, rumah-rumah ibadah dari lain agama berdekatan satu sama lain.
Mereka hidup dalam harmoni, selaras dengan semangat bhineka tunggal ika yang dimuliakan dalam setiap PON, termasuk PON 2024.
Tetapi harmoni itu tak memupus keharusan mencegah kekerasan bertutur agar tidak memicu kekerasan fisik dan laku yang menyalahi aturan yang bisa merusak citra aman.
Untuk itu, tetap perlu ada pendekatan hukum yang kuat, apalagi keamanan dan ketertiban adalah bagian penting untuk citra positif sebuah daerah, termasuk Medan. (*)