JANGAN-JANGAN sudah banyak yang lupa: salah satu tugas media adalah pencatat sejarah.
Media mencatat: "cinta pertama" Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Ia tahu pengganti dirinya harus dari PDI-Perjuangan. Harus nasionalis. Tapi juga harus punya potensi terpilih. Dan yang terpenting: harus mau meneruskan program pembangunannya.
Ganjar ia nilai memenuhi tiga syarat itu. Tapi ia tahu tidak mudah mengawinkan Ganjar. Pelaminannya milik Megawati Soekarnoputri.
Media mencatat: Megawati menginginkan pelaminan itu untuk Mbak Puan, putrinyi.
Media mencatat: Mbak Puan hanya memenuhi satu dari tiga syarat di atas: syarat pertama. Syarat kedua masih jauh. Syarat ketiga masih belum tentu.
Media mencatat: Jokowi ingin memaksakan Ganjar naik pelaminan. Lewat cara yang pernah ia tapaki: popularitas-elektabilitas Ganjar harus tertinggi. Ganjar harus terus bergerak. Jokowi membantu pergerakan itu. Ganjar pun kian populer.
Media mencatat: Megawati tidak berkenan dengan manuver Ganjar. Dianggap mencuri start. Disindir-sindir. Sampai tidak diundang dalam pertemuan partai. Tapi Ganjar terus bergerak. Pendukungnya kian besar. Kian fanatik. Sampai Ganjar dianggap kian mbalelo pada partai. Bahkan dianggap bukan lagi banteng. Sudah jadi celeng.
Media mencatat: sebagian pendukung menginginkan Ganjar tidak surut. Kalau perlu melawan. Jokowi juga terus mempromosikannya. Pendukung Ganjar pun sampai membuat reaksi: gerakan celeng. Lagu Celeng Degleng pun viral.
Media mencatat: popularitas Ganjar naik terus. Popularitas Mbak Puan seperti berhenti di sekitar 2 persen.
Media mencatat: tiba-tiba Megawati menaikkan Ganjar ke pelaminan. Justru di hari kejepit: menjelang Lebaran. Jokowi pun sudah telanjur pulang ke Solo. Mau Lebaran di kampung halaman.
Media mencatat: Jokowi seperti sangat buru-buru datang ke depan pelaminan itu. Lalu buru-buru pula pulang ke Solo. Sudah mepet Lebaran.
Media mencatat: pulang dari pelaminan Jokowi satu mobil dengan Ganjar. Juga satu pesawat. Pembicaraan sangat pribadi tentu terjadi sepanjang perjalanan yang begitu jauh. Begitu lama.
Media TIDAK mencatat: apa isi pembicaraan di mobil dan di pesawat tersebut. Inilah peristiwa sejarah penting yang tidak ada di catatan media.
Tentu tidak mudah media mengendusnya. Satu-satunya yang mendengar pembicaraan itu hanyalah ajudan presiden. Itu pun duduknya di kursi depan. Tentu ada juga sopir. Tapi konsentrasinya di jalan raya.
Kesan publik yang dimunculkan di media: keduanya baik-baik saja. Buktinya pulang dari pelaminan satu mobil. Bahkan satu pesawat.