JAKARTA- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebaiknya mundur atau mengundurkan diri dari jabatannya untuk menjaga marwah lembaga antirasuah tersebut.
Seblumnya, pada Rabu malam, Firli resmi ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya dalam kasus pemerasan.
"Selama ini KPK dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi, namun ketika Ketua KPK terjerat kasus dugaan pemerasan maka menjadi preseden buruk bagi lembaga itu," kata pengamat yang juga pakar hukum pidana Universitas Jember Prof. M. Arief Amrullah.
Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada Rabu (22/11) malam.
"Firli selalu berkelit dalam proses hukum yang menimpanya. Hal tersebut seharusnya tidak dilakukan mengingat jabatannya sebagai Ketua KPK dan seharusnya ia berani untuk menyerahkan diri tanpa ada tekanan dari publik," tuturnya.
Ia menilai tindakan yang dilakukan Firli tidak memberikan teladan yang baik sebagai pimpinan KPK karena selama ini masyarakat berharap lembaga antirasuah itu dapat memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, bukan sebaliknya.
"Kredibilitas lembaga antirasuah itu akan dipertanyakan oleh publik dan sebaiknya yang bersangkutan mundur dari jabatannya untuk fokus dalam kasusnya daripada nanti dipaksa mundur oleh publik dan membebani KPK," ucap pakar hukum pidana Fakultas Hukum Unej itu.
Jika Firli masih menjabat, lanjut dia, maka kredibilitas lembaga antirasuah itu akan tercedera dan kinerja pemberantasan korupsi akan terganggu dan terhambat, apalagi saat ini memasuki tahun politik yang rawan terhadap gesekan politik dan hukum.
"Para penegak hukum juga harus bekerja sesuai dengan norma hukum yang berlaku dan jangan sampai terjadi politisasi hukum pidana karena hal itu akan membahayakan bagi penegakan hukum di Indonesia, sehingga tidak boleh dicampuradukkan antara hukum dan politik," ujarnya.
Sementara itu pada pasal 32 ayat 2 UU KPK menyebutkan bahwa dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, maka pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsuddin Haris mengatakan Ketua KPK Firli Bahuri harus diberhentikan sementara melalui keputusan presiden setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.
"Itu tentu di tangan presiden. Memang di Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, jika pimpinan KPK menjadi tersangka, maka itu diberhentikan sementara dari jabatannya, dan itu tentu melalui keputusan presiden," kata Syamsuddin Haris di Jakarta, Kamis.
Dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK disebutkan bahwa dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, maka yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Kemudian, saat ditanya apakah Dewas KPK akan memberikan surat rekomendasi agar Firli Bahuri mundur dari jabatannya, Haris mengatakan hal itu harus menunggu rampungnya pemeriksaan dan sidang kode etik terhadap yang bersangkutan.
"Itu nanti setelah putusan etik itu dikeluarkan," tambahnya.