Oleh: Dahlan Iskan
JAMBIEKSPRES.CO - Kehidupan itu kompleks. Pikiran manusia itu sederhana. Terbatas pula. Itulah sebabnya para dosen harusnya mampu mengajak mahasiswa untuk terbiasa melakukan shifting paradigma.
Yang mengatakan itu bukan anak Pak Iskan. Saya hanya menyimpulkan hasil pembicaraan panjang saya dengan ilmuwan Indonesia yang menciptakan nano bubble.
Namanya: Prof Dr Sutiman Bambang Sumitro SU DCS.
Prof Sutiman baru saja pensiun sebagai guru besar FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Ia pernah jadi dekan di sana. Dua periode. Ia sudah membimbing 70 orang doktor baru di berbagai bidang ilmu.
BACA JUGA:Sean Hayward Ajak Publik Terus Berusaha dalam Belajar Musik Tradisi
Nano bubble diciptakan untuk menjaga kebugaran badan. Kebugaran adalah salah satu kunci untuk sehat.
Tubuh terdiri dari sel. Triliunan jumlahnya. Tiap sel memerlukan oksigen. Jumlah oksigen yang dipasok ke sel tergantung ketersediaan oksigen di udara. Juga tergantung pada kemampuan paru.
Dari paru dibawa oleh butir darah merah menuju sel. Lewat saluran darah. Besar sampai micro. Ujung tombaknya saluran darah cabang terkecil.
Prof Sutiman menginginkan pengiriman oksigen itu tanpa melewati jalur logistik seperti itu. Langsung masuk ke sel. Tidak tergantung pada kualitas saluran darah.
Seberapa kecil ukuran gelembung udara yang dikirim Sutiman ke sel tersebut? "Besarnya 80 nanometer," ujar Prof Sutiman. Tidak terlihat. Saking kecilnya.
Bukankah sifat gelembung akan selalu naik? Bagaimana bisa dikendalikan untuk masuk sel?
"Ukurannya kan nano. Tidak lagi terikat hukum Newton," ujar dokter Tirta yang menjadi tim inti Prof Sutiman.
Dokter Tirta orang Malang. Ahli bedah. Sudah pensiun dari dinas militer dengan pangkat kolonel. Ia ketua salah satu yayasan masyarakat Tionghoa di Malang.