Ekonomi Syariah Perlu Dibangun Secara Kolektif

Sabtu 05 Oct 2024 - 18:44 WIB
Reporter : Muhammad Akta
Editor : Muhammad Akta

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Abdul Hakam Naja, penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menegaskan bahwa pembangunan ekonomi syariah harus dilakukan secara kolaboratif.
“Penting untuk membangun ekonomi syariah ini secara kolektif, tidak bisa hanya mengandalkan diri sendiri. Kita perlu menjalin hubungan dengan setidaknya 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI),” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Penguatan Ekosistem Halal untuk Masa Depan Ekonomi dan Keuangan Syariah” yang digelar secara daring di Jakarta.

BACA JUGA:Membangun Ekonomi Lokal Melalui Bank Sampah

BACA JUGA:Ekonomi Kreatif Antarkan RI Jadi Pusat Inovasi Global
Data menunjukkan bahwa sekitar 2 miliar umat Muslim di seluruh dunia diperkirakan akan menghabiskan konsumsi sebesar 3 triliun dolar AS, yang hampir tiga kali lipat dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai 1 triliun dolar AS.
Abdul Hakam mengungkapkan bahwa Indonesia seharusnya mengambil peluang tersebut melalui kolaborasi dengan negara-negara OKI, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
“Selama ini kita cenderung kurang memperhatikan hal ini, padahal negara lain sudah mengambil peran penting. Ini menjadi perhatian karena Indonesia sebagai negara terbesar di OKI untuk konsumen industri makanan dan minuman, sedangkan negara lain di luar OKI berperan sebagai produsen utama,” jelasnya.
Laporan State of Global Islamic Economy untuk tahun 2023-2024 menunjukkan bahwa industri makanan dan minuman halal dikuasai oleh Brasil, India, Amerika Serikat, Rusia, dan China, sementara Indonesia berada di posisi konsumen terbesar.

BACA JUGA:Pembangunan Infrastruktur Telekomunikasi Didorong Pertumbuhan Ekonomi Digital di Indonesia

BACA JUGA:Bank Mandiri Proyeksikan Ekonomi RI Tumbuh 5,06 Persen Akhir 2024
Abdul Hakam menggarisbawahi pentingnya sinergi dengan negara-negara OKI untuk menjadikan Indonesia pemimpin dalam ekosistem ekonomi syariah global.
Di sisi lain, ia juga menyebutkan berbagai tantangan yang harus diatasi, termasuk jebakan pendapatan kelas menengah.

Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia mencapai pendapatan per kapita sebesar 5.200 dolar AS per tahun, jauh di bawah Malaysia dan Singapura.
Abdul Hakam percaya bahwa investasi, baik asing maupun domestik, perlu ditingkatkan untuk pengembangan teknologi dan inovasi yang dapat menambah nilai.
Dalam konteks ekonomi syariah, terdapat enam sektor yang dapat disinergikan, antara lain keuangan, makanan dan minuman, pariwisata, fesyen, media dan hiburan, serta obat dan kosmetik.

Ia merekomendasikan agar Indonesia fokus pada keuangan, makanan, pariwisata, dan fesyen.
“Industri fesyen bisa menjadi pemicu untuk kebangkitan ekonomi syariah, dengan kolaborasi antara industri tekstil dan desainer guna memenuhi permintaan fesyen halal di Indonesia dan global,” ungkapnya.
Abdul Hakam menambahkan bahwa dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, seperti populasi dan sumber daya alam yang melimpah, serta tingkat religiusitas yang tinggi, inisiatif ini bisa mendorong inovasi dan mengatasi deindustrialisasi.

BACA JUGA:Pentingnya Membangun Ekosistem AI Berkelanjutan untuk Ekonomi Digital Indonesia

BACA JUGA:Bank Mandiri Proyeksikan Ekonomi RI Tumbuh 5,06 Persen Akhir 2024
Agar Indonesia tidak terjebak dalam pendapatan kelas menengah, pertumbuhan ekonomi perlu mencapai 8 persen dengan pendapatan per kapita 30 ribu dolar AS pada tahun 2045.

Jika pertumbuhan dan sinergi dengan negara-negara OKI terjalin baik, peluang Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi syariah akan semakin terbuka lebar. (*)

Kategori :