- Apa ini?
+ Ini api.
Itulah dimulainya pelajaran bahasa untuk pelajar jurusan bahasa Indonesia di Tiongkok.
Dengan dialog empat kata itu mereka pun mengenal ada dua jenis huruf dalam 印尼文: huruf hidup dan huruf mati.
Harus tahu dulu itu.
Tidak semua huruf itu hidup dan tidak semuanya mati. Hidup dan mati harus dikombinasi agar bisa berbunyi.
Sebelumnya, dosen bahasa Indonesia di sana, Alwi Arifin , memperkenalkan apa saja huruf yang disebut huruf mati: p,b,m,n. Itu dulu. Lalu apa saja yang disebut huruf hidup: a,i,e,o,u.
Masih ada satu huruf hidup lagi yang diperkenalkan oleh Alwi ke mereka: e dengan coret miring di atas. Itu untuk membedakan "e" untuk "enak" dan "e" untuk ¬–"entar" dulu saya pikir contohnya. "Entah" kenapa sulit dapat contohnya.
Alwi, Anda sudah tahu : alumnus pesantren Nurul Jadid , Paiton , Probolinggo .
Ia kuliah S-1 dan S-2 di Xiamen , provinsi Fujian . Alwi satu almamater dengan Novi Basuki, redaktur rubrik Cheng Yu di Harian Disway, Surabaya. Sejak Nurul Jadid sampai Xiamen.
Bedanya Novi masih melanjutkan gelar doktor di Guangzhou. Alwi langsung menerima tawaran bekerja di sana. Ia diminta menjadi guru bahasa Indonesia di kota Fuqing, tiga jam naik mobil di utara Xiamen.
Sudah dua tahun Alwi mengajar di Fujian Polytechnic Normal University . Semacam IKIP di Indonesia. Itu satu-satunya perguruan tinggi di Fujian yang punya jurusan bahasa Indonesia.
Ini tahun kedua Alwi jadi dosen. Hampir genap dua tahun. Sampai tidak sempat pulang untuk, misalnya, kawin. Dia jomblo ting-ting. Belum punya calon. Umur 28 tahun.
Seperti juga Novi, ia suku Madura pendalungan –Perantauan Madura yang lahir di Tapal Kuda (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo dan sekitarnya).
Begitu banyak orang Madura di kawasan itu sampai ada humor: suatu saat kalau Madura merdeka ibu kotanya di Malang.