JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Perubahan cuaca dari kemarau ke musim hujan atau sebaliknya tidak hanya menimbulkan penyakit fisik di tubuh manusia tetapi juga gangguan psikis yang berhubungan dengan kesehatan mental seseorang.
Beberapa kasus terjadi sebagai dampak dari cuaca panas terik telah memicu orang menjadi mudah emosional, misalnya, ketika bersenggolan saat berkendara, saling menyalip, hingga terjadi baku hantam antarpengendara.
Sementara ketika musim hujan, tidak sedikit orang merasa depresi karena berbagai penyebab, seperti hujan ekstrem yang menimbulkan banjir hingga perasaan sedih terisolasi akibat aktivitas di luar rumah menjadi terhambat.
Penelitian yang diterbitkan jurnal Lancet mengungkapkan bahwa panas ekstrem dapat berdampak besar pada kesehatan mental yang menyebabkan peningkatan agresi, perilaku bunuh diri, kecenderungan depresi, hingga penggunaan narkoba.
Makin banyak bukti dari penelitian itu yang menunjukkan bahwa suhu panas terik di luar ruangan dapat memengaruhi kesehatan mental, yang khususnya mengkhawatirkan dalam konteks perubahan iklim.
Analisis tersebut menemukan bahwa suhu tinggi di luar ruangan dikaitkan dengan percobaan bunuh diri, kehadiran di rumah sakit atau masuk rumah sakit karena penyakit mental, dan dampak buruk terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya, beberapa studi jurnal International Journal of Environmental Research and Public Health mengulas hubungan antara cuaca, termasuk datangnya musim hujan, dapat meningkatkan gejala depresi dan kecemasan.
Dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa individu cenderung mengalami penurunan suasana hati selama periode hujan lebat, yang dapat berdampak pada kesejahteraan secara keseluruhan.
Penelitian menunjukkan bahwa cuaca basah dapat memengaruhi kadar serotonin, zat kimia di otak yang berperan dalam regulasi suasana hati, sehingga banyak orang mengalami penurunan energi dan motivasi saat cuaca kelam.
Sementara studi yang dilakukan oleh Universitas Stanford pada 2017 tentang hubungan antara cuaca dan emosi yang diekspresikan dalam media sosial, menemukan bahwa cuaca buruk membuat suasana hati ikut memburuk.
Berdasarkan studi tersebut, orang cenderung lebih lebih banyak menggunakan frasa positif di media sosial ketika cuaca sedang bagus. Akan tetapi, cuaca buruk, misalnya, temperatur ekstrem, hujan, atau lembab memberi dampak sebaliknya.
Penelitian itu berdasarkan 3,5 miliar unggahan di Facebook dan Twitter dari jutaan pengguna di 75 area metropolitan Amerika Serikat.
Para peneliti mengukur positivitas atau negativitas dari tiap unggahan dan membandingkannya dengan kondisi cuaca lokal.
Psikolog klinis dari Universitas Indonesia A. Kasandra Putranto mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai dampak buruk dari perasaan sedih atau perasaan emosi yang terjadi secara berulang saat terjadi perubahan musim.
Perasaan sedih yang sering timbul saat musim hujan disebutnya dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang terutama jika perasaan tersebut sering terjadi atau berlangsung dalam waktu yang lama.
Dampak pertama yang dapat dirasakan adalah meningkatnya risiko terkena depresi. Jika seseorang sering merasa sedih saat hujan, ini bisa menjadi tanda awal dari gangguan depresi. Rasa sedih yang berkepanjangan dapat mengarah pada gangguan afektif musiman (seasonal affective disorder-SAD) atau depresi mayor.
Dampak lainnya adalah timbulnya rasa cemas akibat perasaan negatif yang sering muncul berupa ketidaknyamanan yang disebabkan oleh cuaca sehingga mendorong peningkatan perasaan gelisah dan cemas.
Mengalihkan perasaan
Di antara berbagai cara yang dapat dilakukan tiap individu untuk melepaskan perasaan negatif dari rasa marah hingga sedih adalah dengan mendengarkan musik, menonton, membaca, berolahraga, hingga menyalurkan hobi.
Musik adalah salah satu yang paling manjur.
Bahkan pada anak-anak yang mengalami kesedihan, memasukkan musik sebagai bagian dari terapi bisa membantunya rileks sehingga bisa menata kembali perasaan seseorang.
Membaca buku dan menonton film secara efektif dapat membantu melupakan perasaan sedih dengan memilih genre sesuai kegemaran sehingga pembaca akan lebih mudah menyelami ceritanya.
Para psikolog meyakini membaca buku dan menonton dapat meningkatkan suasana hati.
“Melakukan aktivitas fisik seperti yoga, pilates, atau aerobik di dalam ruangan dapat membantu meningkatkan endorfin dan mengurangi perasaan sedih. Bisa juga dengan menggambar atau melukis, ini cara yang baik untuk mengekspresikan emosi dan mengalihkan perhatian, ujar Kasandra.
Aktivitas lain yang dapat dijadikan pilihan untuk melupakan rasa sedih adalah memasak atau membuat kue, meditasi, berkebun dan bermain permainan seperti permainan papan, video gim, hingga teka-teki.
Ahli diet Christine Byrne, pemilik Ruby Oak Nutrition di Raleigh, NC, seperti dikutip dari laman New York Post menyarankan makanan yang sebaiknya dikonsumsi saat seseorang merasa cemas.
Jenisnya berupa makanan seimbang, yang secara keseluruhan padat nutrisi, menjadi terbaik untuk kesehatan mental
Mengonsumsi terlalu banyak gula dapat memicu perasaan lesu dan kelelahan. Sebaliknya konsumsi biji labu, ikan berlemak, alpukat, jeruk, sayuran berdaun hijau tua, dan cokelat hitam dapat meningkatkan semangat.
Menghirup aroma atau wewangian bisa juga membantu mengubah suasana hati seseorang sebab secara ilmiah, aroma mengirimkan sinyal ke sistem limbik, yaitu sektor otak yang mengontrol memori dan emosi.
Aroma tertentu dapat memicu kenangan dan memainkan peran dalam kesejahteraan emosional seseorang.
Tritunggal aroma, memori, dan emosi ini menjelaskan mengapa aroma memiliki kekuatan untuk memengaruhi suasana hati dan kesejahteraan psikologis seseorang.
Sebut saja aroma bunga lavender, terkenal karena khasiatnya yang menenangkan dan menyejukkan.
Aromanya terbukti mengurangi stres, kecemasan, dan meningkatkan relaksasi, menjadikannya pilihan ideal untuk menciptakan suasana damai, terutama sebelum tidur.
Individu dan lingkungan terdekat hendaknya lebih peka terhadap tanda-tanda stres atau perubahan suasana hati yang mungkin muncul akibat perubahan cuaca.
Rasa sedih atau sikap emosi yang berkepanjangan dapat mengurangi produktivitas sehari-hari, termasuk pekerjaan, dan interaksi sosial. (*)