JAMBI- Pemerintah mengkaji opsi mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Salah satu sektor yang menjadi pertimbangan adalah seberapa jauh efektivitas anggaran jika metode dipindahkan dari sistem langsung dengan diwakili DPRD.
Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni mengatakan, dari sisi anggaran, pilkada melalui DPRD bisa lebih rendah.
Tapi, seberapa jauh nilai penghematan biayanya, dia belum mengetahui. ”Kami belum ada hitungannya. Tentu perlu dikaji ya,” ujarnya saat ditemui dalam kegiatan APBD Award di Jakarta.
Dalam pilkada langsung, kebutuhan mencakup biaya untuk penyelenggaraan oleh KPU, pengawasan Bawaslu, serta keamanan TNI/Polri. ”Tapi, untuk pilkada yang lain (melalui DPRD), kita masih belum tahu,” imbuhnya.
Agus menambahkan, dari sisi anggaran, pilkada langsung cukup membebani APBD. Di Sumatera Utara, misalnya, pemilihan gubernur menghabiskan Rp 1 triliun. Padahal, APBD Sumut hanya Rp 14 triliun. ”Kan besar sekali itu gambarannya. Nanti di daerah, teman-teman bisa cek,” kata birokrat yang juga menjabat Pj gubernur Sumut tersebut.
Pengamat politik Saiful Mujani mengingatkan, pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan membuat politik tidak stabil. Situasinya akan mirip seperti saat presiden dipilih MPR. Salah satu korbannya adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dijatuhkan di tengah jalan.
Dengan dipilih rakyat, lanjut dia, kasus-kasus tersebut dapat dihindari. ”Politik sejak presiden dipilih rakyat langsung jadi stabil. Ini fakta penting,” ucapnya.
Di daerah, situasinya dinilai sama. Kepala daerah dipilih rakyat langsung adalah sumber stabilitas politik. Sebaliknya, jika dipilih DPRD, akan timbul instabilitas politik. Sebab, kepala daerah sangat bergantung pada DPRD.
”Bila ingin memberhentikannya, DPRD dapat melakukan kapan saja sesuai kepentingannya. Ini menciptakan instabilitas politik. Padahal, stabilitas itu prasyarat bagi pembangunan,” terangnya.
Soal pilkada saat ini yang dirasa mahal dan korup, Mujani menyarankan agar dipikirkan cara yang murah dan minim korup, bukan dengan mengubah sistem. Sebab, persoalan biaya mahal terjadi karena masalah implementasi, bukan konsep. ”Misalnya, elite menggunakan money politics sebagai jalan pintas memenangi pertarungan,” tuturnya.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan menyebut masih menunggu pengajuan pemerintah perihal usulan pilkada dipilih DPRD. Karena itu, baleg belum bisa menentukan apakah usulan itu masuk prioritas pembahasan RUU tahun depan. ”Intinya masuk ke (prolegnas) prioritas atau tidak, itu saja dulu. Kita di baleg menunggu pembahasan dulu,” pungkasnya. (gwb)