Oleh : Hermanto Harun*
Sebuah kehormatan, ketika memoderatori Seminar ’Putih Hati’ Solideritas Palestina. Seminar yang berangkat dari rasa kepedulian yang mendalam atas tragedi kemanusiaan yang di alami rakyat Palestina, khususnya penduduk Ghaza. Perhelatan seminar yang diinisiasi oleh ICMI orwil Jambi bekerjasama dengan Universitas Batanghari yang menjemput para narasumber dari para tokoh perwakilan dari ICMI, MUI Jambi, Lembaga Adat Melayu (LAM) (NU) dan Muhammadiyah yang bertempat di Aula Abdurrhaman Sayuti Unbari Jambi Sabtu 16 Desember 2023.
Semenjak kembali meletusnya perang Israel-Palestina 7 Oktober 2023, jumlah berkorban dari rakyat sivil, utamanya dari pihak Palestina, sudah puluhan ribu nyawa melayang, korban luka serta pengungsi yang tak jelas nasibnya. Bahkan kebrutalan Zionits Israel terhadap rakyat Palestina secara membabi buta itu, adalah perilaku genosida yang sangat dikutuk jutaan manusia di dunia.
Perilaku genosida (harb al-ibadah) sebagaimana yang dicetuskan oleh Raphael Lemkin tersebut tampak begitu nyata, dihadapan mata terbelalak para pemimpin negara-negara yang selama ini mencekoki isu kemanusiaan sebagai jargon utama. Pengusung Hak Asasi Manusia dengan volunteernya telah mengalami kondisi ’aphatansia’ yang menurut Prof Adam Zeman, ahli saraf dari University of Exeter, Inggris, menyebutkan bahwa suatu kndisi dimana seseorang tidak bisa melihat ke dalam pikiran, perasan serta tidak bisa membayangkan sesuatu dengan mata batinnya.
Kelakuan barbar bangsa Yahudi di negeri tiga agama itu tidak hanya sebatas paradigma menumpas kelompok ’garis keras’--seperti yang selalu mereka kampanyekan--,sehingga kelakuan bejad dan biadab itu legal dengan alibi membela diri. Dalih ini jelas kontraproduktif, karena semenjak berdirinya Israel dari tahun 1948, tanah Israel sangat identik dengan perilaku barbaristik yang setiap jengkal terotorialnya digaransikan dengan darah dan jeritan air mata rakyat Palestina.
Jika ditelisik dalam lensa sejarah, lakon Zionis Yahudi di tanah Palestina sekarang bukanlah hal yang baru, mengingat konflik Palestina-Israel bukanlah konflik satu bangsa dengan bangsa lain, tapi konflik peradaban, atau bahkan konflik agama yang telah direkam sejarah dalam usia panjangnya.
Bentangan sejarah perilaku congkak Yahudi dibuktikan dengan memusuhi semua ras besar dunia. Konflik antara Nabi Muhammad saw dengan kaum Yahudi di Madinah, konflik antara Yahudi dan Romawi, konflik antara Yahudi dengan negara-negara Eropa, konflik antara Musa dengan Fir'aun, bahkan konflik antara nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya. Lakon kebiadaban Israel saat ini hanyalah pengulangan peristiwa, semenjak era Perang Arab, pembakaran Masjid al-Aqsha, tragedi Sabra Satila, Intifadhah akhir 80-an, tragedi al-Khalil Hebron, penembakan Muhammad al-Durrah, pembunuhan Syekh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi dan pejuang Palestina lainya. Perbedaan keganasan Israel sekarang dengan yang terdahulu hanya pada waktu dan pelaku.
Dalam perjalanannya, keberadaan Zionis Isreal memang selalu bersama aliran darah. Semenjak terbentuk pada 1897 dan diproklamasikan di Swiss yang akhirnya membuat keputusan bahwa bangsa Yahudi harus kembali ke Palestina, maka dari sana cerita simbahan darah rakyat Palestina selalu menjadi tinta dalam kelam sejarah. Bermula dari kongres di Swiss hingga terbentuknya negara Israel Raya 1948 yang didudukung sepenuh oleh negera-negara Barat, perilaku bangsa ”kera” tersebut selalu membuat ulah. Hingga hari ini, kebejatan Israel terhadap rakyat Palestina seolah hanya menjadi cerita yang tidak berarti bagi dunia. Bangsa Barat bahkan ikut merestui kepongahan Israel dengan tanpa reserve.
Hak Asasi Manusia yang didewakan oleh pengagum Barat, hanya berlaku bagi kesalahan ras dan bangsa lain terhadap Yahudi, namun tidak bermakna apapun, jika kejahatan Yahudi bagi bangsa selain mereka. Lantas, kita patut bertanya, apakah kekejaman dan kebiadaban Zionis Yahudi terhadap bangsa Palestina tersebut sebatas persoalan politik? Atau konflik dalam pentas sejarah ini sudah menyentuh wlayah agama?
Motif agama atau politik
Jika melihat persepsi sejarah, sulit menapikan bahwa kucuran darah yang selalu mengalir di bumi Palestina tersebut hanya bermotif politik semata. Sebab berdirinya Israel tahun 1948 merupakan mimpi besar Yahudi sejak masa Musa, Dawud, Sulaiman, bahkan zaman Nabi Muhammad saw. Yahudi sangat membutuhkan "Kerajaan Bani Israil" untuk mengalahkan ras selain mereka. Dan ketika Yahudi menakulkkan al-Quds pada tahun 1967, pasukan Israel berkumpul di tembok ratapan. Mereka berteriak dengan menyatakan ”hari ini kita berhasil membalas dendam perang Khaibar” kemudian mereka meneriakkan ”tumpangkan buah misy-misy di atas buah Apel, agama Muhammad telah lari dan pergi”. Ungakapan yang selaras yang dilontarkan Presiden Amerika Jo Biden; Tidak mesti untuk menjadi Zionis harus menjadi Yahudi, dan saya Zionis!.
Lebih jauh dari itu, konflik di Timur Tengah yang disebabkan oleh Isreal merupakan skenario Yahudi dalam menerjemahkan doktrin Talmud yang sangat mereka yakini, bahwa negara Isreal Raya berdiri dalam batasan sungai Nil di Mesir sampai sungai Furat di Iraq. Profesor Jamal Abd al-Hadi dan Wafa Muhammed Rif’at dalam bukunya al-Tariq Ila Bayt al-Maqdis mengungkapkan beberapa doktrin Talmud yang dijadikan Yahudi sebagai acuan dalam menjustifikasikan ambisi bejat mereka, diantaranya adalah, pertama, asal manusia selain Yahudi sama dengan asal hewan. Kedua, arwah orang Yahudi sangat mulia di sisi Tuhan, sementara arwah manusia selain mereka adalah arwah setan yang menyerupai ruh hewan. Ketiga, membunuh selain Yahudi merupakan kebajikan yang akan dibalas oleh Tuhan. Jika tidak mampu membunuh selain Yahudi secara langsung, maka wajib bagi Yahudi membuat segala cara untuk kehancuran selain mereka. Keempat, kehidupan orang selain Yahudi adalah milik Yahudi, begitu juga dengan harta mereka. Kelima, perbedaan manusia dengan hewan sama seperti Yahudi dengan manusia selain mereka.
Ada banyak teks Talmud yang diimani oleh Zionis Israel untuk menghancurkan manusia selain mereka. Dengan demikian, ambisi Zionis tidak akan pernah padam sebelum cita mereka terbukti nyata. Bagi kaum Zionis Isreal, segala cara menjadi halal demi kepentingan dan keculasan mereka. Sifat kaum Zionis Yahudi itu mewarisi sifat besar, yaitu sifat durhaka diturunkan dari sifat saudara-saudara Yusuf (seayah berbeda ibu). Disana sudah terpupuk bakat-bakat kelicikan, dengki, kebohongan, dan sebagainya. Walau sifat-sifat itu sebatas potensi, bukan kemutlakan takdir.
Perebutan tanah suci Palestina dengan menggunakan klaim al-ardh al-mau’ud, yaitu tanah yang telah dijanjikan, merupakan keyikan agama bagi kalangan Zionis Isreal. Bahwa tanah yang didalamnya terdapat Solomon Temple, menjadi harga mutlak, bahwa bumi al-Aqsa adalah warisan yang harus di jaga kelsetarian ritual dan budayanya oleh kaum Zionis. Sementara, terma al-ard al-muqaddasah bagi kalangan Islam menjadi harga mati, bahwa kiblat pertama kaum muslimin itu adalah sepetak bumi yang wajib di jaga kesuciannya oleh uma Islam. Kedua terma tersebut sudah cukup menjelaskan bahwa perang Isral Pelstina tidak semata persoalan politik, namun sangat kentara dengan latar agama.
Perang Isreal Palestina dengan jargon Taufan al-Aqsa (badai al-Aqsa) seperti yang diviralkan oleh pihak Hamas, adalah sebuah sikap pantang menyerah atas kelaliman penjajah. Perlawanan pihak Palestina kepada Zionis Isreal adalah bukti otentik bahwa penindasan itu harus dienyahkan, seberapun harga yang harus di bayar. Nasr aw istisyhad (menag atau syahid), kalimat yang senantiasa diulang oleh Jubir militer al-Qassam dalam setiap akhir pidatonya.
Seminar Puth Hati Palestina di Universitas Batanghari itu, sebenarnya ingin menyampaikan pesan, bahwa negeri Melayu Jambi menjadi bagian yang tak terkecualikan dalam gemuruh kepeduliaan yang sedang herois di jagad raya hingga kini. Pesan kemanusiaan yang melekat dari tanah yang berajo dan negeri yang beradat untuk rakyat Palestina. Merdeka! (*Anggota Dewan Pakar ICMI Orwil Jambi & Ketua MUI Prov Jambi Bid Dakwah dan Pemberdayaan Umat)
Kategori :