Dokter Paparkan Alasan Ilmiah Mengapa Kehamilan di Usia Remaja Tidak Disarankan

Sabtu 18 Oct 2025 - 17:46 WIB
Reporter : Muhammad Akta
Editor : Muhammad Akta

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO— Kehamilan di usia remaja, terutama di bawah usia 20 tahun, masih menjadi perhatian serius di dunia kesehatan.

Dokter spesialis obstetri dan ginekologi konsultan fertilitas lulusan Universitas Indonesia, dr. Upik Anggraheni, Sp.OG(K), menegaskan bahwa secara medis, usia remaja belum ideal untuk menjalani kehamilan karena berisiko tinggi bagi ibu maupun janin.
Menurut dr. Upik, usia 19 tahun secara biologis masih tergolong remaja, di mana sistem reproduksi memang sudah aktif tetapi belum sepenuhnya matang.

Tubuh seorang perempuan di usia tersebut umumnya masih dalam proses pertumbuhan dan penyesuaian hormon, sehingga belum siap menghadapi tuntutan fisik dan metabolik selama masa kehamilan.
“Tulang panggul, tulang belakang, dan tulang ekor masih dapat tumbuh hingga usia 20–21 tahun. Bila panggul belum berkembang optimal, risiko terjadinya Disproporsi Sefalopelvik (CPD) meningkat — yaitu kondisi ketika ukuran kepala janin tidak sesuai dengan ukuran panggul ibu. Akibatnya, proses persalinan bisa berlangsung lama, bahkan berujung pada operasi sesar,” ujar dr. Upik saat dihubungi di Jakarta.
Risiko Fisiologis dan Komplikasi Kehamilan
Selain faktor anatomi, kematangan fungsi organ reproduksi juga berperan penting. Di usia remaja, hubungan antara otak dan organ reproduksi — melalui poros hipotalamus-hipofisis-ovarium — belum bekerja seoptimal wanita dewasa. Hal ini dapat memengaruhi siklus hormon, pembentukan sel telur, serta kestabilan kehamilan.
“Pada usia di bawah 20 tahun, rahim dan ovarium belum mencapai kemampuan maksimalnya untuk mendukung tumbuh kembang janin,” jelasnya.
Kehamilan remaja juga dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi seperti tekanan darah tinggi dan preeklamsia, kondisi serius yang ditandai dengan tekanan darah tinggi disertai gangguan fungsi organ, terutama ginjal dan hati. Bila tidak ditangani dengan baik, preeklamsia dapat mengancam nyawa ibu maupun janin.
Masalah lain yang kerap muncul adalah kekurangan gizi dan anemia. Remaja umumnya memiliki cadangan nutrisi yang terbatas akibat pola makan yang kurang seimbang dan minim pengetahuan mengenai kebutuhan gizi selama kehamilan.
“Kehamilan meningkatkan kebutuhan zat gizi secara drastis. Kekurangan zat besi bisa menyebabkan anemia, yang dapat berujung pada kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, bahkan perdarahan pascapersalinan,” papar dokter yang berpraktik di RS Pondok Indah, Jakarta, itu.
Dampak kekurangan nutrisi tak hanya dirasakan ibu, tetapi juga janin. Bayi yang dilahirkan dari ibu remaja memiliki risiko lebih tinggi mengalami berat badan lahir rendah (BBLR), gangguan perkembangan organ, dan masalah tumbuh kembang di kemudian hari seperti stunting.
“Bayi dengan berat lahir rendah lebih rentan terhadap infeksi, gangguan pernapasan, dan memerlukan perawatan intensif di ruang NICU,” tambahnya.
Secara statistik, kehamilan remaja turut berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang belum siap serta kesulitan dalam proses persalinan.
“Risiko perdarahan pascapersalinan lebih tinggi pada usia muda karena kontraksi rahim sering kali belum optimal. Ini menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu muda,” kata Upik.
Selain itu, bayi yang lahir dari kehamilan usia muda juga lebih sering mengalami gangguan pernapasan, pencernaan, hingga masalah penglihatan dan perkembangan jangka panjang.
Jika kehamilan di usia remaja sudah terjadi, dr. Upik menekankan pentingnya perawatan prenatal dini dan rutin.

Pemeriksaan sejak awal dapat membantu dokter memantau perkembangan janin dan mendeteksi potensi komplikasi sejak dini melalui USG dan pemeriksaan laboratorium berkala.
Ia juga menyarankan agar remaja hamil mendapatkan edukasi menyeluruh mengenai nutrisi, manajemen stres, dan perencanaan persalinan yang aman.

Dukungan emosional, finansial, dan sosial dari keluarga sangat diperlukan untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi.
“Remaja membutuhkan lingkungan yang suportif, bukan penghakiman. Dukungan keluarga dan pasangan berperan besar dalam memastikan kehamilan berjalan aman dan sehat,” tuturnya.
Sebagai langkah pencegahan, dr. Upik menggarisbawahi pentingnya edukasi kesehatan reproduksi sejak dini. Remaja perlu memahami risiko kehamilan di usia muda, pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, serta cara merencanakan masa depan secara matang.
“Pendidikan seksual yang komprehensif bukan berarti mendorong hubungan seksual dini, tetapi justru memberikan pemahaman tentang tanggung jawab dan konsekuensi medis dari kehamilan remaja,” pungkasnya. (*)

Kategori :