Oleh : Hermanto Harun, Ph.D
PENGANUGERAHAN gelar guru besar dengan sebutan profesor itu merupakan prestasi sekaligus prestise. Di sebut prestasi, karena gelar tersebut merupakan puncak capaian atas pengabdian dalam dunia pendidikan dan karya tulis yang memberi perspektif tentang realitas dari sudut ilmu pengetahuan. Juga, penyematan sebagai profesor patut disebut prestise, karena capaian gelar akademik tertinggi itu menjadi mimpi bagi para akademisi yang sekaligus juga pengakuan atas kewibawaan ilmu yang telah dikuasainya.
Segala argumen yang merasionalkan tentang prestise profesor tersebut, diejawantahkan dalam sidang senat terbuka perguruan tinggi, sebagai wadah serta lumbung ilmu pengetahuan itu tersimpan. Maka, perhelatan pengukuhan profesor bagi sebuah kampus, menjadi niscaya. Karena, hanya kampus yang memiliki legitimasi terhadap penganugerahan posisi gelar keilmuan tertinggi kepada seseorang.
Di sisi lain, penghargaan atas capaian guru besar itu manjadi kebutuhan personal yang menyandangnya, yang bisa dituntut pertanggung jawaban keilmuan ditengah komunitas masyarakatnya. Bukankah, penghargaan atas capaian prestasi manjadi kebutuhan individu, sebagaimana Abraham Maslow pernah mengungkap dalam teori hierarki kebutuhan manusia. Dalam artikelnya yang berjudul A Theory Of Human Motivation, Maslow merumuskan sebuah hierarki kebutuhan manusia yang diantaranya adalah tentang harga diri.
Menurut pakar Psikologi Humanistik Kelahiran Amerika ini, ada dua subtipe harga diri. Yang pertama adalah penghargaan yang tercermin dalam persepsi orang lain terhadap kita berupa prestise, status, pengakuan, perhatian, penghargaan, atau kekaguman. Selanjutnya penghargaan yang berakar pada keinginan akan kepercayaan diri , kekuatan, kemandirian, dan kemampuan untuk berprestasi
Dalam khazanah keilmuan Islam, penyematan gelar atau label khusus yang mencerminkan keilmuan, sudah teramat jamak diketahui. Penyematan gelar Syeikh, al-'Allamah, Al Ustaz serta al-Faqih bisa dianalogikan dengan 'pengukuhan' tanpa seremonial. Pengakuan seperti ini banyak ditemukan di awal nama-nama para ulama dalam karya-karaya mereka. Penulisan semua gelar di awal nama mereka tersebut, sebuah legitimasi keilmuan atas validasi karya yang mencerminkan keahlian, dan bahkan menjadi potret yang menyimpulkan kedalaman pengetahuan sekaligus keindahan Budi dan akhlaq. Disinilah kerasian pengetahuan dengan pekerti, sebagaimana kata hikmah berbilang, ilmu bagaikan hujan sedangkan Budi pekerti seperti tanah di bumi. Jika tanahnya rusak, maka hujan takkan memberi arti.
Sikap perilaku keilmuan tersebut terekam dalam kisah Imam Malik bin Anas, seketika beliau merasa sungkan menulis sebuah hadits ketika berdiri, yang mencerminkan ketinggian budi dihadapan sabda Baginda Rasul. Juga, bagaimana terkesimanya Imam Malik terhadap akhlaq gurunya Ibn Hurmuz, yang tidak pernah merasa keberatan untuk mengatakan "tidak tahu" terhadap sesuatu yang belum diketahuinya. Padahal, selama delapan tahun, Imam Malik bergumul dengan beliau serta belajar fikih dan fatwa serta ilmu lainnya tentang agama.
Pengukuhan beberapa profesor di lingkungan UIN Jambi oleh Dirjen Kemenag RI di Auditorium kampus biru itu, setidaknya mengembalikan kegairahan keilmuan yang beberapa waktu lalu sempat redup. Semangat untuk menyalakan kembali cakrawala pengetahuan di lembaga tinggi pendidikan tersebut adalah keniscayaan, karena sinar pengetahuan tidak boleh padam oleh praktik culas kekuasaan yang acap pongah dan lupa daratan.
Walau pengukuhan ini agak terlambat dari waktu idealnya, namun ucapan selamat masih tetap hangat untuk lantunkan. Tahniah untuk para guru besar yang telah dikukuhkan, Prof, As'ad Isma, Prof, Marwazi, Prof, Kasyful, Prof, Samsu, Prof, Rusmini da Prof, Badarusy.
Semoga pengukuhan ini menjadi momentum untuk kembali menggelorakan semangat keilmuan, merajut kembali persahabatan serta dapat mereservasi kebaikan menjemput keunggulan menuju kampus Sulthan Thaha yang berkelas dunia. Amin. (Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syari'ah Pascasarjana UIN STS Jambi)
Kategori :