''Tidak. Tidak akan terjadi apa-apa. Banyak petugas keamanan di situ,'' katanya. ''Pulangnya saja yang harus hati-hati,'' tambahnya.
Setelah lewat proses itu sudah sulit ditolong. ''Harus selesai di lokasi. Kalau pun harus main celurit harus saat itu juga,'' ujarnya bermetafora.
Mengapa kejadian seperti itu tidak dipersoalkan?
''Biasanya yang kena copet juga pernah berusaha mencopet,'' kata Risang. ''Dan lagi saling copet itu lebih banyak terjadi di caleg sesama partai,'' tambahnya.
Dua caleg yang minta dibantu Risang senang. Mereka berhasil dapat kembalian suara copetan.
Risang juga membenarkan: copet-mencopet seperti itu hanya terjadi untuk suara pileg DPR, DPRD provinsi dan DPD. Tidak terjadi di penghitungan suara Pilpres. Tidak pula di penghitungan suara caleg DPRD kabupaten.
Untuk Pilpres dan DPRD kabupaten semuanya berjalan lurus. Orang Madura punya alasan filosofis: dua jenis Pemilu itulah yang murni memerlukan aspirasi rakyat langsung.
Tahun ini hanya ada dua orang yang bersuara keras: merasa kecopetan. Anda sudah tahu lebih dulu. Yakni seorang wanita yang di TPS-nyi sendiri dapat suara nol. Padahal dia dan seluruh keluarganyi nyata-nyata mencoblos dia.
Satunya lagi bukan sembarang orang: Agus Raharjo. Ia mantan ketua KPK. Kapan itu namanya viral saat mengaku diintervensi Presiden Jokowi.
Agus merasa kecopetan besar-besaran di Madura. Agus, orang Magetan itu, adalah caleg untuk DPD dari dapil Jatim.
''Copet-copetan di suara DPD paling masif. Mana ada caleg DPD yang punya saksi di Madura,'' ujar Risang.
Percayalah: 20 hari lagi semua itu akan selesai. Seperti dulu-dulu juga.
Risang kini berusia 50 tahun. Anaknya sudah lima orang. Tapi penampilannya masih seperti dulu: urakan. Rambutnya panjang. Warnanya ganti-ganti. Sering juga dikuncir. Saat ini rambut itu lagi dicat warna merah. Kapan itu abu-abu. Pernah juga warna kuning.
Ia alumni fakultas hukum Universitas Bangkalan –kini menjadi Universitas Negeri Trunojoyo.
Risang pernah diajak Mathur untuk demo bupati Bangkalan: Makmun Ibnu Fuad. Soal bantuan kambing etawa sebanyak 1.365 ekor untuk 273 desa.
Kambing itu dibeli dari Senduro, Lumajang. Anggaran beli kambing itu sebesar Rp 41 miliar. Awalnya untuk membangun sirkuit balap motor di Bangkalan. Gubernur tidak setuju. Lalu jadi bantuan etawa.