Oleh: Dahlan Iskan
几点开始?'' tanya saya.
''Mulainya jam 1.30,'' jawabnya.
Masih ada waktu 1 jam lagi.
Di kota ini salat Jumat baru dilakukan pukul 14.00.
Yang saya tanya itu penjaga gerbang Masjid Quanzhou. Sekaligus penjual tiket masuk. Banyak turis lokal masuk masjid ini: masjid berumur lebih 1.000 tahun. Yang tertua di Tiongkok.
Tahun itu kerajaan Majapahit pun belum ada. Masih dua ratus tahun kemudian. Islam sudah ada di Quanzhou, bagian selatan provinsi Fujian.
Saya tiba di masjid Quanzhou terlalu cepat. Jalan tol ini tidak padat. Satu sisinya empat lajur. Itu membuat jarak 300 km bisa ditempuh dalam 2 jam. Yakni dari Fuzhou, ibu kota provinsi. Ke Quanzhou ini. Lewat Fuqing dan Putian.
Fuqing adalah kampung halaman konglomerat Liem Sioe Liong. Juga kampung nenek moyang konglomerat Surabaya Alim Markus.
Putian adalah ibu kota kabupaten Xianyou. Anda sudah tahu: gas Tangguh nan murah, dari Papua, dikirim ke Tiongkok lewat pelabuhan LNG di Putian ini.
Quangzhou adalah kampung halaman nenek moyang Sudomo, pemilik kopi Kapal Api.
Ini kali kedua saya ke Quanzhou. Tapi baru sekali ini ke masjid tuanya. Dibangun tahun 1.029. Masih di zaman Sriwijaya.
Pengeliling dunia pernah mampir ke Quanzhou: Ibnu Batuta. Orang Maroko itu.
Ibnu Batuta tinggal di Quanzhou beberapa bulan. Tinggal di dekat masjid ini. Di tengah komunitas Islam saat itu.
Masyarakat Islam saat itu datang dari Timur Tengah. Berdagang. Quanzhou kota dagang yang penting. Mereka membangun masjid di situ.