Masjid Bengkok Simbol Multietnis di Kota Medan
MASJID Bengkok, begitulah orang di Medan menyebut tempat ibadah bagi umat Islam yang terletak di Gang Bengkok, Jalan Masjid, Kota Medan, ini. Seperti apa ceritanya?
TAK sulit mencari Masjid Bengkok dengan nama Masjid Lama di Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, yang berada di pusat kota "Paris Van Sumatera" tersebut.
Sebab, masjid ini berdiri di salah satu pusat perdagangan onderdil sepeda motor, alat tulis kantor dan percetakan yang dikendalikan oleh pedagang Tionghoa.
Warga luar Kota Medan atau luar Provinsi Sumatera Utara yang sedang melakukan aktivitas jual beli di kawasan ini, tidak jarang menunaikan shalat di Masjid Bengkok tersebut. Para pekerja muslim di kawasan itu juga banyak menunaikan sholat berjamaah di masjid ini.
Masjid Lama di Gang Bengkok ini telah menjadi saksi bisu masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Banyak cerita sejarah di masjid ini karena merupakan bagian dari kawasan kota tua di Medan. Masjid lama masih berdiri kokoh. Masjid Bengkok sendiri dibangun pada masa Kesultanan Deli, Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Sultan yang merupakan Sultan Deli ke-IX memimpin Tanah Deli pada 1873 hingga 1924.
"Awal mulanya dibangun masjid ini pada 1874 oleh Tjong A Fie," ungkap Imam Rawatib Masjid Lama, Nasrun Tanjung (61).
Tjong A Fie merupakan warga Tiongkok yang merantau ke Tanah Deli dalam gelombang besar masa kolonial Belanda abad ke-19 bersama buruh perkebunan tembakau Deli.
Dia sangat cerdas dan menguasai ilmu dagang di Tiongkok. Saat itu masih muda berusia 18 tahun. Dia ingin menemui kakaknya Tjong Yong Hian karena lebih dahulu mengadu nasib di Tanah Deli.
Walau sang kakak telah menjadi pemimpin Tionghoa di Tanah Deli, tetapi Tjong A Fie kala itu lebih memilih bekerja di toko milik teman kakaknya Tjong Sui Fo.
Di toko ini dia memegang pembukuan, melayani pelanggan, menagih utang maupun tugas-tugas lain yang membuat dirinya menjadi pandai bergaul.
Tidak hanya kepada orang Tionghoa, tetapi penduduk lokal warga Melayu, Arab, India, dan Belanda. Tjong A Fie muda juga belajar bahasa Melayu yang merupakan bahasa perantara warga di Tanah Deli.
Dalam waktu singkat Tjong A Fie mampu mewujudkan cita-citanya menjadi orang Tionghoa pertama memiliki perkebunan tembakau luas di Tanah Deli, dan terus melakukan ekspansi.