YANG saya juga bersyukur di bulan Ramadan ini adalah: tidak bogang olahraga. Sport dance. Tiap hari. Di Surabaya. Di Jakarta. Apalagi selama di Tiongkok ini.
Di kota Meizhou, saya tinggal di Howard Johnson. Jam 12.00 check in.
"Kalau mau masuk kamar sekarang adanya kamar yang menghadap ke 广场. Agak berisik," ujar petugas hotel. "Kalau mau kamar yang lebih tenang baru bisa pukul 14.00," tambahnyi.
"Berisik kenapa?" tanya saya.
"Banyak orang olahraga. Pakai musik," jawabnyi.
"Saya tahan berisik," jawab saya. Jangankah berisik musik, berisik politik pun saya tahan.
Dalam hati saya ingin menambahkan: saya ini tergolong orang yang ikut memproduksi berisik itu.
Dia benar. Jam 7 malam suara musik masuk ke kamar. Sayup-sayup tapi jelas. Akhirnya saya pun tahu kenapa suara musik disebut berisik: lebih 10 jenis musik saling bersaing di taman lapangan luas nan gemerlap itu.
Saya tidak mungkin goyang-goyang sendiri di dalam kamar. Sulit pilih. Mau ikut goyangan musik yang mana.
Maka saya turun ke lobi. Menyeberang jalan –sangat lebar dan ramai. Saya masuk ke lapangan luas itu. Bukan main. Ramai sekali. Suara musik saling bersahutan. Dari begitu banyak pengeras suara portable.
Saya geleng kepala. Begitu banyak orang berolahraga. Lebih 10 kelompok. Pakai musik mereka sendiri-sendiri. Padahal jarak antar kelompok itu ada yang hanya 10 meter.
Ada kelompok besar. Ada grup kecil, sekitar 20 orang. Mereka semua senam-dansa. Sport dance.
Ada yang senam aerobik. Energetik. Ada yang lebih ke arah tari. Slow.
Yang seru: antarkelompok itu kan seperti tidak berjarak. Maka kelompok sini bisa dengar musik dari kelompok sana. Saling berebut masuk telinga. Tapi mereka tidak peduli. Masing-masing konsentrasi ke gerakan dan musik kelompoknya sendiri.
Saya pilih bergabung ke salah satu kelompok yang jenis gerakannya medium impact. Seperti yang selalu saya lakukan di Indonesia.