Awalnya di kawasan kampung terdapat bangunan bernama Akuarium yang difungsikan sebagai lokasi penelitian biota laut. Bangunan itu dikatakan sebagai yang terbesar se-Asia Tenggara pada masa itu.
Lalu dalam perjalanannya, ketika bangunan tersebut sudah tidak digunakan lagi karena fungsinya sudah pindah ke Ancol, Jakarta Utara, maka kawasan itu dijadikan permukiman oleh masyarakat.
Karena itu, maka mereka menamakannya sebagai Kampung Akuarium, karena ada sejarah bangunan masa lalu di kawasan itu.
Pada tahun 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan ingin menata Kampung Susun Akuarium karena merasa kawasan itu tidak tertata, sehingga kurang layak huni.
Sebanyak 241 kepala keluarga (KK) yang tinggal di kawasan itu kemudian direlokasi ke sejumlah rusun yang masih ada unit kosong, seperti di Marunda dan Pulo Gebang, namun sebanyak 90 KK memilih bertahan dan untuk mereka dibuatkanlah semacam shelter atau tempat penampungan sementara.
Melalui Peraturan Gubernur DKI Nomor 90 Tahun 2018 tentang "Peningkatan Kualitas Permukiman dalam rangka Penataan Kawasan Permukiman Terpadu" dan Keputusan Gubernur DKi Nomor 878 Tahun 2018 tentang "Gugus Tugas Pelaksanaan Kampung dan Masyarakat", pemerintah menyusun rencana aksi peningkatan kualitas permukiman berbasis masyarakat (CAP).
Sesuai namanya, pemerintah bersama masyarakat serta pendampingan para tenaga ahli, bersama-sama mengidentifikasi masalah dan potensi yang dapat dikembangkan untuk perbaikan lingkungan permukiman warga, hingga merencanakan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
Tahun 2018 pemerintah daerah mulai menata kawasan itu. Pemerintah juga mengevaluasi, sehingga diperkenankan untuk dibangun hunian.
Pembangunan dan penataan dilakukan dengan mempertimbangkan kawasan itu sebagai cagar budaya. Para ahli dari Universitas Indonesia (UI) melalui kajian arkeologis yang disaksikan warga, sebelumnya menemukan pondasi gedung yang dulunya merupakan bangunan akuarium.
Dari penggalian yang menemukan pondasi itu baru diketahui ada bangunan yang disebut cagar budaya. Akhirnya, temuan tersebut disimpan di Rusun Akuarium.
Dalam prosesnya, warga sempat mengutarakan keinginannya agar bangunan rusun memiliki empat lantai dan tujuh blok.
Hanya saja, setelah mempertimbangkan kajian arkeologis, ternyata sekitar 4.000-5.000 meter persegi lahan harus dikosongkan. Lahan tersebut kemudian dimanfaatkan warga sebagai lokasi bercocok tanam atau urban farming dan lapangan sepak bola.
Kampung Susun Akuarium pun diputuskan terdiri dari lima blok dan diisi oleh 241 orang dengan bangunan tipe 36.
Belakangan, kampung itu meraih penghargaan tertinggi "Innovation Awards 2023" dari Asia Pacific Housing Forum (APHF) untuk kategori inisiatif program perumahan oleh masyarakat sipil.
Direktur Rujak Center for Urban Studies yang ikut membantu rencana penataan kampung Elisa Sutanudjaja mengatakan sisi inovatif kampung susun sebagai produksi sosial perumahan yang berbasiskan hak asasi manusia.