Penyandang Autis : Menyongsong Masa Depan

Senin 15 Apr 2024 - 19:43 WIB
Oleh: Bakar

Oleh : Daumi Rahmatika, SE, MM*

PADA Pada tanggal 2 April, diperingati sebagai hari Autisme International (Worid Autism Awarness Day) sebagaimana telah ditetapkan oleh PBB nomor A/RES/62/139 pada tanggal 18 Desember 2007, dan terhitung berlaku mulai tahun 2008. Adapun tema peringatan Hari Autis tahun 2024 adalah,”Moving From Surviving to Thriving: Autistic  Individuals Share Regional Perspectives. 

Tema ini dicetuskan untuk memberi gambaran kepada masyarakat global mengenai kondisi autism saat ini dari sudut pandang penyandang Autisme sendiri. Tema ini menekankan perlunya mengubah fokus dari sekedar menangani autisme menjadi menciptakan lingkungan di mana penyandang autism dapat berkembang. Bagaimana masa depan penyandang autis nantinya?

Autisme merupakan gangguan perkembangan secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak. Gangguan ini berpengaruh pada komunikasi, interaksi social, imajinasi dan sikap (Wright,2007:4). Autisme atau autism infatil (Early Infatile Autism) pertama kali ditemukan oleh Dr. Leo Kanner  pada tahun 1943 seorang psikiatris Amerika. 

Istilah Autisme digunakan untuk menunjukan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering di sebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain adalah ekpresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatiannya. Penyebab autism adalah gangguan neurobiologis berat yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa  sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif (Suteja, 2014 dalam Anisa Indiyana, 2022).

Menurut data WHO dalam publikasinya akhir Maret 2023, menggunakan kajian Zeidan sebagai rujukan, prevalensi autism adalah 1: 100. Pada tahun 2000 di AS, prevalensinya adalah 1:150, sedangkan pada tahun 2021 dilaporkan 1 dari 54 anak di AS terindikasi autism pada usia 8 tahun. Autisme lebih banyak dialami anak laki-laki dengan prevalensi 1:32, sedangkan pada anak perempuan 1: 151. Di Indonesia jumlah penyandang autis belum ada data yang akurat. Pada tahun 2000, prevalensinya adalah 1:500 artinya setiap 500 orang ada 1 orang yang autis.  Tahun 2004, Siti Fadilah Supari mengatakan jumlah penyandang autis naik menjadi 475 ribu dengan prevalensi 1:150, naik menjadi 300% hanya dalam waktu 6 tahun. BPS (2020) dengan jumlah penduduk 270,2 Juta dengan perbandingan pertumbuhan anak autis sekitar  3,2 juta anak. Pusat Data Statistik SLB mencatat siswa autis di Indonesia tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Kemendikbud, 2020, dalam Anisa Indiyana,2022).

Di kota Jambi, jumlah penyandang autis belum diperoleh data yang akurat. Namun, diprediksi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 penulis mencoba mendata jumlah penyandang autis yang berada di empat pusat terapi di Jambi yaitu Kiddy Autism Center, Hikmah, Unggul Sakti dan Yayasan Bunga Bangsa dan dua SLB yaitu SLBN Sri Soedewi MS, SLB Kota Jambi penyandang autis berjumlah 247 (Menuju kemandirian Penyandanga Autis, Posmetro, Jumat 12 April 2013). Data ini belum termasuk yang berada di sembilan kabupaten dan dua kota. Pada tahun 2024 ini tentu jumlahnya semakin bertambah, terlihat dari jumlah pusat terapi Anak Berkebutuhan Khusus semakin banyak baik yang di dirikan oleh Pemerintah yang disebut dengan Pusat layanan Autis (PLA), maupun tempat terapi yang di dirikan secara mandiri oleh masyarakat. Sedangkan siswa yang terapi juga semakin muda yaitu sekitar umur dua tahun.

Perkembangan penanganan Autisme. Pemahaman masyarakat tentang dunia autis masih perlu diupayakan, meskipun sekarang sudah semakin aware. Dengan perkembangan teknologi masyarakat semakin mudah untuk mendapatkan akses informasi tentang gejala dan ciri-ciri tumbuh kembang anak yang berbeda denagn anak seusianya. Maka orang tua segera membawa anaknya ke dokter untuk mendapatkan diagnosa yang tepat. 

Dari pengamatn penulis di salah satu pusat terapi, ternyata usia anak yang terapi semakin kecil yaitu mulai dari 2 tahun. Ini menunjukkan pemahaman orang tua terhadap tumbuh kembang anak semakin baik.Meski belum tentu terdiagnosa sebagai penyandang autis, tetapi anak-anak mengalami keterlambatan bicara dan cenderung hiperaktif. Sebagaimana di ketahui, jika seseorang terdiagnosa autis, maka disarankan untuk melakukan serangkaian terapi. 

Ada berbagai macam terapi dari yang berbayar atau dengan mengikuti home program.Orangtua harus pandai-pandai memilih terapi yang tepat untuk anaknya. Beberapa terapi yang biasanya diterapkan untuk anak autis adalah: terapi wicara, terapi okupasi, terapi sensori, terapi perilaku (ABA), terapi biomedis, terapi bermain , terpai visual, terapi fisik atau fisioterapi, terapi kemampuan social dll. 

Penyandang autism yang berprestasi. Sebagaimana tema hari autis tahun ini, masyarakat diharapkan memberikan ruang bagi penyandang autis untuk bisa mengekpresikan dirinya sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Mereka juga berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana orang tipikal. Selain Sekolah Luar biasa, pemerintah sudah berupaya untuk mengenalkan sekolah inklusi sebagai salah satu tempat untuk belajar bagi penyandang autis. Saat ini sudah banyak penyandang autis yang bisa menempuh pendidikan sampai Perguruan Tinggi. 

Penyandang Autis yang sukses adalah Daniel Tammet seorang penulis dan pendidik yang menulis buku ,”Born on A  blue Day,Temple Grandin seorang penyandang autis yang meraih gelar profesor dibidang ilmu hewan.Matt Savage penyandang autis yang dijuluki sebagai ,”Mozart of Jazz.”Di Indonesia, contohnya saja Natrio C. Yososha telah lulus dari Jurusan Arkeologi di UGM dan dia aktif di Tiktok untuk membagikan kegiatannya sebagai penyandang autis dewasa. Mehera Dophy Sutrisno yang berhasil meraih medali Perak pada Special Olympic Asia Pasific di Sydney Australia tahun 2012 lalu.Thomas Andika penyandang autis yang ahli origami, Oscar Yura Dompas berhasil lulus S1 di FKIP dan menulis buku,”Austistic Journey dan The life of the Autistic Kid Who Never Give up.”dll

Menggapai Masa depan. Bagi penyandang autis, untuk bisa sampai pada posisi mandiri dan bisa di terima masyarakat, butuh uluran tangan banyak pihak. Setelah orang tuanya bisa menerima kondisi anak dan mengupayakan kesembuhannya, tentu membutuhkan dokter untuk terus memantau perkembangannya, psikolog untuk mengasesment kondisinya saat mau masuk sekolah, lembaga pendidikan dari mulai TK sampai Perguruan Tinggi untuk memberi kesempatan mereka belajar. Lembaga terapi untuk melakukan terapi dari kekurangan yang dimiliki penyandang autis. 

Semua itu harus punya komitmen untuk mengantarkan penyandang autis punya masa depan. Masyarakat dan komunitas juga mulai bergandengan tangan untuk mengantarkan mereka menyambut masa depannya. Komunitas autis baik yang diinisiasi  oleh terapis, orangtua dan lembaga atau pusat terapi saling berjejaring untuk melakukan edukasi terutama kepada orang tua, misalnya mengadakan webinar gratis tentang Anak berkebutuhan Khusus( ABK), berbagi materi secara gratis yang untuk menjangkau masyarakat yang berada di daerah yang belum ada pusat terapi. Mereka disatukan karena sama-sama mempunyai anak berkebutuhan khusus terutama Autis.

Harapan ke depan. Penyandang autis bisa sembuh asal dilakukan deteksi dini, terapi yang intensif dan optimal. Untuk itu peran Faskes di level paling bawah seperti puskesmas sangat penting untuk membantu pendeteksian dini bagi anak dalam tumbuh kembangnya. Perlunya edukasi semua faskes di level ini. Sekolah Inklusi semakin banyak mulai jenjang TK sampai dengan Sekolah Menengah Atas, karena jumlah SLB sangat terbatas. Pusat Layanan Autis (PLA) bisa didirikan di setiap wilayah karena sangat dibutuhkan masyarakat kurang mampu, karena autis bisa terjadi pada semua strata social.  

Kategori :