Oleh : Raa Tsania
DI kalangan Komunitas Blok A, ada rumor mistis yang tidak terelakkan. Selama ini blok itu hidup tenteram, sebab memang tak banyak populasi mereka yang bersemayam di sana karena pemilik rumah adalah sosok yang bersih.
Sudah seminggu setengah dari populasi memilih sembunyi di kediaman masing-masing, membicarakan rumor mistis tentang banyaknya bagian dari mereka yang hilang di jam makan siang. Dan jumlah yang hilang tidaklah sedikit. Ketua komunitas kebingungan mencari sebab masalah. Dia dan anak buahnya sudah seharian menyelidiki sekuat tenaga. Nihil. Meski mereka melotot memperhatikan seisi rumah.
Hari ini, hilang lagi sepuluh! Populasi mereka semakin sedikit.
Harafaya, istri ketua komunitas, semakin risau. Anaknya yang izin pergi main, tidak kunjung pulang sejak semalam. Di hari kedelapan rumor itu, dengan tekad luar biasa, saat ketua yang tidak mengizinkannya ikut pencarian melakukan rapat darurat di kediaman mereka, dia mencari anaknya.
Harafaya menyusuri tiap sudut rumah, bahkan gelas sikat gigi juga dia cek teliti. Sejam, tidak ketemu juga. Dia hampir menyerah dan menangis mengingat anaknya yang masih muda. Harafaya tiba-tiba terkesiap. Teringat. Mereka punya tempat berkumpul privat, dipakai untuk rapat penting, tempat yang selalu bau. Mereka sudah lama tidak ke sana karena sebulan terakhir populasi di rumah ini begitu tenteram.
Pasti hanya lokasi itu yang belum dicek, sebab berada di luar ruangan dan tidak boleh tersentuh tanpa persetujuan ketua. Bisa jadi tak satu pun dari mereka mengingat tempat itu.
Harafaya segera menuju ke sana, dan… benar! Di sana dia menemukan beberapa tetangga dan anaknya terkulai lemas di atas kertas!
Tanpa pikir panjang, Harafaya langsung terbang menuju anaknya.
"Jangan kemari, Ibu!"
Terlambat. Harafaya sudah mendarat. Dia tiba-tiba merasakan kakinya tidak bisa digerakkan. Harafaya menatap cemas anaknya yang terkulai dengan sayap dan kaki setengah hilang.
"Apa... apa yang terjadi, Rouka?"
"Kita akan mati, Ibu. Segeralah pergi!" Rouka memekik, bernapas setengah-setengah. Sudah hampir sebelas jam dia menahan perih karena sayap dan kaki yang patah, juga kelaparan.
"Tidak! Apa maksudmu?" Harafaya tidak menyadari kakinya makin lengket, sayapnya yang terkulai pun ikut beku di atas kertas. Dia mengulurkan tangannya yang bebas untuk menyentuh kepala Rouka dan menatap wajahnya.
"Ini kertas kematian, Ibu. Harusnya Ibu pergi sebelum perekatnya semakin kuat."
"Mengapa kau bisa di sini?"