Oleh: Dahlan Iskan
LEBIH mudah mengajari ilmu kewartawanan kepada dokter daripada mengajari ilmu kedokteran kepada wartawan. Maka saya putuskan agresif, kala itu: rekrut dokter-dokter muda. Jadikan mereka wartawan.
Begitu banyak komplain dari dokter. Soal berita terkait penyakit, obat, dan kesehatan. Tulisan wartawan dianggap begitu dangkal. Banyak salah pula. Lebih banyak lagi yang salah pengertian.
Salah satu wartawan-dokter itu hari ini, Rabu 23 Oktober, mendapat gelar profesor. Guru besar. Beneran. Dia sudah bergelar doktor tiga tahun lalu. Sebelum itu dia dokter spesialis obgyn. Dokter umumnyi dari FK Unair. Pun spesialis, doktor, dan guru besarnyi.
Namanyi: Prof Dr dr Eghty Mardiyan Kurniawati SpOG Subsp Urogin-RE. Suaminyi juga dokter. Letnan kolonel TNI-AL: Abdul Haris, dr SpBS MTrOpsla.
Waktu Eighty jadi wartawan kami dapat apresiasi besar: banyak dokter jadi wartawan. Salah tulis pun hilang. Maka kami lanjutkan kebijakan itu: para insinyur harus jadi wartawan.
Jangan hanya lulusan sospol, keagamaan, dan publisistik.
Jawa Pos pernah diajak Prof B.J. Habibie ke seminar internasional aeronautika di Eropa: hanya satu-satunya wartawan yang sarjana nuklir.
Kala itu. Namanya: Agus Mustofa. Kini jadi ulama. Penulis buku tasawuf. Juru dakwah.
''Kenapa nama Anda Eighty?'' tanya saya. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda Indo di wajahnyi.
Eighty asli Surabaya. Lulusan SMAN 5. Ayahnyi guru SD. Belakangan sang ayah tertarik belajar bahasa Inggris.
''Ayah sangat mengidolakan angka delapan. Eight. Di bulan 8 lahirlah anak wanita, saya. Jadilah Eighty,'' jawabnyi. Kalau waktu itu yang lahir laki-laki mungkin diberi nama Eightman.
Waktu pandemi lalu Eighty sudah doktor. Dia punya tugas membimbing mahasiswa-dokter untuk jadi spesialis.
Hambatan begitu besar.
Mobilitas terbatas.