Hitam dan Putih

DERU air yang berjatuhan dari lubang keran seirama dengan jantungku yang berdebar. Orang-orang lamban itu masih memasang kain putih di setiap sisi rumah. Lambat! Aku tak sabar berjumpa, rindu ingin memeluk dan mencium kegelapan, sebab terasa nikmat. 

Diam-diam aku mengintip jendela, perbatasan hitam dan putih. Aku menyelisik kunci di antara kain kusut yang tertumpuk. Ketemu! Ini kunci menuju kepuasan yang aku tunggu-tunggu. Langkahku sunyi, tiada yang menyadari kepergianku sampai suara pintu terbuka tak sengaja terdengar. Aku merekahkan senyuman, menyapa ibu yang tengah menghalangi jalan. 

Dia memberikan isyarat untuk segera menjauh dari pintu. Tidur saja, seolah mulutnya berbicara demikian. Tak semudah itu, aku selalu memunculkan beribu-ribu alasan demi memperoleh kenikmatan.

“Badanku busuk, wajahku kusam, kulit badanku gatal-gatal! Aku harus segera mandi, Bu. Jika tidak, bintik-bintik hitam akan muncul di tubuhku!” kataku kalut. 

Aku gemetar meminta pertolongan agar segera diselamatkan dari kesakitan ini. Tanganku mulai muncul bercak merah buatan, air mata seketika berlinang mengundang belas kasihan.

“Baiklah, ayo, Ibu mandikan! Jangan biarkan bintik merah itu menguasai tubuhmu,” ucap ibu khawatir. Dia merangkul tanpa jijik pada bintik merah yang sebentar lagi akan menghitam.

“Tapi, Bu, aku sudah besar. Biarkan aku mandi seorang diri di sungai. Boleh, ya?” pintaku memohon dengan mata yang berbinar-binar.

Ibu memandang tajam, jantungku berdebar! Apakah kebohongan akan selesai sampai di sini? Aku kembali lagi memohon, kali ini dengan akting yang meyakinkan. Melingkarkan kedua tangan di kakinya, sembari memunculkan suara isak tangis dari mulut. Aku menekan kepala menghadap lantai, menyembunyikan mulut yang tak sanggup menahan tawa. Samar-samar kudengar kakak menghasut ibu untuk mengizinkan aku pergi. Ia memang kakak terbaik! Nanti akan kuceritakan dengan jelas bagaimana rasa nikmatnya hitam itu. Ibu mengangguk setelah diyakinkan kakak untuk melepas kepergianku.

“Sungai itu dekat dengan hitam, jangan sekali-kali terlena untuk pergi ke sana!” kata ibu mengingatkan. Sekali saja terlena, katanya, akan lenyap kesucianku. 

Aku tak percaya. Kemarin aku sudah ke sana. Selama tiga menit, tubuhku tidak ada perubahan. Orang-orang tetap memandangku suci, bersih, dan baik. 

Pergilah aku pada persimpangan antara sungai yang membelah hitam dan putih. Ada suatu sensasi geli seperti kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut. Aku merendam tubuh dan menyeberangi sungai. Tak peduli sajian lumut lewat di depan mata. Air sungai menyisakan kepalaku, sampai pada akhirnya tiba di tempat hitam yang aku dambakan. 

Kuterima setiap alunan musik bermain di lubang telinga, biarkan angin-angin genit meraba tubuhku! Nikmat. Benar-benar nikmat, tiada rasa ini ketika aku berada di tempat putih. Siluet manusia tak berwujud mengajakku menari, dia muncul bagaikan sahabat sejati. Menawarkan rahasia jika aku mau mengikutinya. Aku takut tapi tertarik untuk menerimanya. 

Kami memasuki lorong. Sepanjang jalan mendengar suara gadis merdu bernyanyi, lalu terdengar suara laki-laki tertawa. Aku terhenti, mundur satu langkah untuk tak mengikuti. 

Siluet itu bertanya, “Mengapa?” 

Tag
Share