“Demam” Nilai Tukar, Dampak Dinamika Geopolitik Dunia

Reva Dian Chalista --

Oleh : Reva Dian Chalista 

KETIDAKPASTIAN yang semakin meningkat akan berdampak pada prospek perekonomian global yang melambat. Pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 diprakirakan melemah disertai divergensi pertumbuhan antar negara yang kian melebar. Sementara itu, resiko inflasi diperkirakan masih tetap tinggi seiring kenaikan sejumlah komoditas pangan dan energi sejalan dengan eskalasi ketegangan geopolitik. Hal ini mendorong sejumlah negara maju terutama The FED yang merupakan bank sentral Amerika menetapkan suku bunga kebijakan moneter tetap tinggi dalam jangka waktu lebih lama. Selanjutnya, hal tersebut akan diikuti dengan meningkatnya imbal hasil (yield) obligasi jangka panjang dan jangka pendek negara maju. 

Jika hal ini terus terjadi secara masif dan berkelanjutan, maka aliran arus modal akan berpindah ke negara maju serta memicu penguatan USD terhadap berbagai mata uang dunia. Di tengah tantangan tersebut, sejumlah negara harus menghadapi volatilitas hingga depresiasi nilai tukar, tak terkecuali nilai tukar rupiah. Per 18 Oktober 2023 Yen yang merupakan mata uang Jepang tercatat mengalami depresiasi 12,44% (ytd), Dollar Australia 6,61% (ytd), Ringgit Malaysia 7,23% (ytd) dan Rupiah Indonesia 1,03% (ytd). Meski demikian, depresiasi nilai Rupiah masih terpantau lebih baik dibandingkan sejumlah negara kawasan dan peersnya. 

Minimnya depresiasi nilai rupiah tentunya dipengaruhi oleh sejumlah bauran kebijakan bank sentral dalam hal ini yaitu Bank Indonesia. Sejumlah strategi ditetapkan sebagai langkah upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah diantaranya menjaga supply and demand valas dengan melakukan intervensi di pasar valas pada transaksi spot, DNDF dan SBN di pasar sekunder, menaikkan BI7DRR menjadi 6,00% atau meningkat 25 BPS. Hal ini menjadi langkah strategis yang harus dilakukan setelah sebelumnya BI menjaga BI7DRR pada level 5,75% selama kurang lebih 9 bulan.  Kebijakan moneter ini ditembuh sebagai langkah pre-emptive dengan mempertimbangkan situasi ke depan (forward looking). 

Selanjutnya yaitu bersinergi dan berkolaborasi dengan seluruh stakeholder terkait untuk mendorong Local Currency Transaction (LCS) guna mengurangi ketergantung terhadap mata uang asing

Bauran kebijakan ini diambil karena BI memandang bahwasanya single instrument kurang mampu mengatasi tantangan global saat ini. Bauran kebijakan memadukan antara kebijakan moneter yang pro-stability, pelonggaran kebijakan makroprudensial serta digitalisasi sistem pembayaran dan ekonomi keuangan inklusif (pro-growth). Tidak hanya sampai disini, sejumlah kebijakan pendukung juga digunakan sebagai langkah antisipasi diantaranya penguatan kerjasama internasional, fasilitasi promosi investasi dan perdagangan, mendorong pengembangan ekonomi syariah, dan lain-lain. 

Sejumlah respon kebijakan BI diharapkan mampu mengelola ekspektasi masyarakat. Masyarakat juga dapat berkontribusi menjaga stabilitas nilai rupiah melalui belanja bijak dalam rangka mengurangi resiko inflasi dalam negeri, berwisata di Indonesia aja sebagai bentuk dukungan kepada wisata dan umkm lokal serta mengurangi demand atau kebutuhan penggunaan mata uang asing. 

* Penulis adalah Analis Yunior – KPwBi Provinsi Jambi

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan