Wajah Baru

Oleh : Dahlan Iskan--

Sepuluh langkah di koridor itu ada lorong temaram ke kanan dan ke kiri. Di ujung-ujung lorong ada cahaya dari atas. Lalu ada patung di bawah siluet cahaya itu. Magis. Buntu.

Saya balik ke lorong utama lagi. Sepuluh langkah kemudian ketemu lorong ke kanan dan ke kiri lagi. Sama. Di ujung-ujungnya ada siluet cahaya dari atas. Ada patungnya. Magis. Buntu.

Balik ke lorong hitam yang utama lagi. Suasananya masih seperti di dalam gua. Sepuluh langkah kemudian ketemu lagi lorong kiri-kanan yang mirip. Saya menikmati keseluruhan lorong gua ini.

Yang mendesain renovasi The Meru hebat sekali.

Di langit-langit lorong hitam itu ada sedikit cahaya redup. Ada air di langit-langit koridor. Air yang mengalir di kaca. Cahaya matahari tertahan oleh air dalam kaca itu: redup.

Ujung lorong ini buntu. Dinding. Warna hitam juga. Tapi ada akses besar ke kiri dan ke kanan. Yang ke kiri itulah reception The Meru berada.

Saya melongok juga akses yang ke kanan. Sepi. Sunyi. Tidak ada orang. "Ini reception untuk tamu yang bersifat rombongan," ujar petugas yang mendampingi saya.

Memisahkan reception tamu perorangan dan tamu grup tentunya sangat baik. Tamu perorangan sering menunggu sangat lama kalau lagi ada grup besar yang check-in.

Di sebelah reception itu ada ruang tunggu besar. Tanpa dinding. Lebih 40 sofa ada di situ. Luas sekali --untuk ukuran hotel. Kanan-kirinya kolam air. Dengan suara gemercik yang jatuh di sepanjang pemisahnya.

Di balik ruang sofa itulah restoran besar berada. Tanpa dinding. Tanpa AC. Menghadap pantai Sanur yang berpasir putih. Semua tamu Bali Beach dan The Meru makan minum di situ. Efisien.

Karena itu sebelum masuk restoran ada koridor ke kanan dan ke kiri. Yang ke kiri adalah jalan menuju kamar-kamar di hotel Bali Beach. Koridor yang ke kanan menuju kamar-kamar di The Meru. Dua-duanya bintang lima.

Saya pilih ke restoran. Tidak ingin makan. Saya masih punya singkong rebus di dalam tas. Kalau sudah bisa masuk kamar, saya akan makan siang dengan singkong itu. Apalagi dibawakan juga sambal ijo --lombok hijau dan tomat hijau ditambah kecombrang. Semua tanaman sendiri.

Di resto itu saya hanya ingin minum --agar pantas. Sebenarnya saya masih punya satu botol air putih. Tapi saya harus lama duduk di situ. Tidak pantas kalau tidak pesan minuman.

"Beras kencur.... ups....kunyit," kata saya. Meski bintang lima resto ini menyediakan minuman tradisional. "Gulanya dipisah," tambah saya.

Ketika minuman warna kuning tiba, saya pun mulai menyeruput. "Ini cocktail," ujar pelayan. Benar. Ada rasa alkohol. Saya nggak jadi meminumnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan