Buyut Cut Nyak Dhien Berasal Dari Pagaruyuang Batusangkar
MUSEUM: Juru Pelihara Rumoh Tjut Nja' Dhien atau Museum Cut Nyak Dhien, Asiah (54), menunjukkan foto Cut Nyak Dien. FOTO :ANTARA --
Anak semata wayang Cut Nyak Dhien tersebut menikah dengan Teuku Mayet Di Tiro yang merupakan anak dari pahlawan nasional Teuku Cik Di Tiro.
Sementara itu, Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Provinsi Aceh, Hasbullah, memiliki pendapat berbeda tentang sosok Makoedum Sati. Meskipun sama-sama menyakini berasal dari Minangkabau, Hasbullah menyatakan Makoedum Sati adalah seorang laki-laki, bukan perempuan.
Berdasarkan literasi yang disampaikan Hasbullah, Makoedum Sati datang ke Aceh diperkirakan pada abad 18 ketika kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Alam Barul Munir (1711--1733 M).
Perjalanan Makoedum Sati ke Aceh diawali dengan sebuah kabar bahwasanya terdapat sumber emas di ujung Pulau Sumatera. Setelah mendapat berita itu, Makoedum bersama 12 perahu berlayar ke Tanah Rencong dan mendarat di Pantai Tanah Aceh bernama Pasir Karam.
Ketika rombongan Makoedum Sati tiba di Aceh, ia mendapati pasukan Aceh sedang berperang melawan pasukan Mantir yang kala itu belum memeluk agama Islam. Pada peperangan itu pasukan tentara Aceh kalah jumlah.
Situasi itu dimanfaatkan Makoedum Sati dan membantu tentara Aceh dalam melawan pasukan Mantir. Alhasil, mereka dapat mengalahkannya. Atas bantuan tersebut, pasukan Aceh menghadiahi Makoedum Sati tanah yang awalnya ditempati pasukan Mantir.
Makoedum Sati memanfaatkan tanah pemberian tersebut untuk bersawah dan berladang guna memenuhi kebutuhan rombongan yang ia bawa dari Sumatera Barat. Dalam waktu singkat, Makoedom Sati beserta rakyatnya menjadi orang makmur dan menyatakan kesetiaannya kepada kekuasaan Sultan Aceh.
Tak lama berselang, Makoedum Sati memutuskan pindah ke muara Sungai Woyla perbatasan daerah Pidie. Di sana, Makoedum dan rombongan menetap dan kembali membuka persawahan, ladang, perdagangan hingga mengumpulkan biji emas yang dibawa arus Sungai Woyla.
Kemakmuran yang dicapai Makoedum terdengar oleh Sultan Aceh yang bernama Jamalul Alam. Saat itu, Sultan meminta upeti kepada Makoedum karena merasa wilayah yang ditempati perantau Minangkabau tersebut masih di bawah kekuasaannya.
Akan tetapi, Makoedum dengan lantang menolak mentah-mentah jika harus menyerahkan upeti kepada Sultan Jamalul Alam. Sultan berulang kali meminta dan mengingatkan agar Makoedum memberikan upeti, namun lagi-lagi permintaannya tidak dipenuhi.
Bahkan, pada suatu kesempatan Makoedum menyerahkan besi tua yang sudah berkarat kepada Sultan Aceh. Hal itu lantas membuat Sultan marah karena merasa dihina sehingga memutuskan menyerang dan menangkap Makoedum Sati. Dalam pertempuran itu, Makoedum kalah telak dan seisi perkampungannya dibakar oleh pasukan Sultan Aceh.
Usai ditangkap, Makoedum disiksa. Bahkan, ia dipaksa menelan cairan besi panas yang sebelumnya ia kirim kepada Sultan Jamalul Alam. Akan tetapi, usaha sultan untuk membinasakan Makoedum sia-sia. Makoedum tetap hidup karena, konon, ia memiliki ilmu yang bisa mendinginkan besi panas.
Singkatnya, atas kebijaksanaan Sultan Jamalul Alam, Makoedum diberi ampunan, namun harus mengabdi kepada Sultan Aceh.
Jejak Sejarah
Rumoh Tjut Nja' Dhien atau Museum Cut Nyak Dhien pertama kalinya dibangun pada tahun 1893 oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada saat itu, Belanda merasa senang dengan Teuku Umar atas kerja sama yang dilakukan kedua belah pihak.