Bahasa dan Gender

Rini Febriani Hauri--

Oleh: Rini Febriani Hauri

SERINGKALI tidak kita menyadari bahwa cara berkomunikasi kita menimbulkan semacam keberpihakan, terutama dalam penggunaan bahasa yang kita pilih. Disadari atau tidak, bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan gagasan sangat ditentukan dan dikonstruksikan oleh cara pandang kita sehari-hari. Sebagai habitus, hal ini menjadikan seseorang cenderung lebih “terbiasa” mengidentifikasi realitas dari cara pandang kebudayaan tertentu. Umpamanya melalui pengalaman-pengalaman keseharian yang hadir sejak masa kecil, kita bisa menilai dan menggunakan ragam kosakata yang normatif, lazim, serta memiliki kadar etik yang konvensional. Pada sisi sebaliknya, bisa jadi bahwa “kebiasaan” tersebut tidak lazim atau kurang etis dalam wilayah lain karena ada “pandangan dunia” yang lebih fundamental dan melarang kita menggunakan kosakata yang dimaksudkan tersebut.

Dalam wacana mutakhir, bahasa tidak lagi dipandang sebagai ruang yang netral. Tentu saja, hal ini menimbulkan suatu pertanyaan mendasar, apakah memang bahasa bukan semata-mata alat komunikasi? Terkait hal ini, kita bisa lebih reflektif dengan meninjau kembali bagaimana sebenarnya praktik berbahasa dalam keseharian kita selama ini. Bisa jadi bahwa dalam keseharian kita, bahasa (kosakata) kita adalah bingkai yang sebenarnya menunjukkan bagaimana cara kita memandang dunia. Temasuk bagaimana cara kita memandang lawan jenis. Apakah kita sudah secara sadar memilih dan menggunakan kata-kata yang sesuai? Tidak berpotensi mendiskreditkan, melecehkan, dan/atau membuat lawan jenis atau orang lain merasa tidak nyaman?

Lebih jauh, kita bisa melacak ke perbendaharaan kosakata kita, terutama dalam kaitannya dengan relasi antara peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Apakah memang bahasa untuk laki-laki selalu merepresentasikan maskulinitas? Demikian juga, apakah bahasa dan kosakata untuk perempuan sudah pasti menitikberatkan pada feminitas belaka? Secara umum, hal ini mungkin menarik karena kita bisa menemukan pandangan kebudayaan yang mengonstruksi ruang-ruang ideologis ini. Ruang yang selama ini mungkin tidak benar-benar kita sadari hakikatnya bahwa ia menghegemoni masing-masing individu yang menjadi penuturnya. 

Dalam kebudayaan yang berbasis patriarkat misalnya, bahasa dan gender menjadi suatu tinjauan kritis terhadap manifestasi peran laki-laki dengan perempuan secara nyata. Posisi laki-laki cenderung dominan, bahkan hal ini didukung secara konvensional terhadap pemakaian jenis-jenis kosakata tertentu yang spesifik. Misalkan saja merepresentasikan maskulinitas dalam simbol-simbol tertentu, seperti pohon, gunung, atau fenomena alam lain yang dianggap relevan. Secara kebudayaan, hal ini menjadi ideologi yang menawarkan cara pandang patriarkis sebagai “pusat” epistemologinya. Pada wilayah perempuan, kecenderungan ini bisa menghadirkan suatu bias yang kemudian diafirmasi secara turun-temurun sepanjang generasi. Seperti stereotipe kebudayaan yang cukup populer kita kenal selama ini disematkan pada perempuan, yakni dapur, kasur, dan sumur. 

Secara kritis, apa yang menjadi stereotipe terhadap perempuan merupakan produk kebudayaan. Terutama konstruksi berpikir dalam memandang dunia (realitas) dari sudut pandang laki-laki. Apa yang menjadi konsekuensinya adalah perempuan ditempatkan dalam situasi yang cenderung inferior, terlokalisasi, dan lemah. Bahasa turut memberi sumbangsih signifikan atas realitas yang dialami kaum perempuan ini. 

Berbeda halnya dengan episteme kebudayaan yang berpusat pada matrilineal atau hubungan keturunan melalui garis perempuan. Cara pandangnya tentu bertolak belakang dalam melihat peran dan posisi perempuan dalam kebudayaan. Ada istilah-istilah yang secara signifikan memosisikan bahwa perempuan merupakan “pusat” kebudayaan. Ia memiliki peran sentral dalam mengatur, mengolah, serta menggerakkan kebudayaan secara regenerasi. Misalkan saja, bundo kanduang yang menjadi penjaga rumah gadang, harta pusako tinggi, dan juga lambang bagi kaumnya. Tidak berbeda halnya dengan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, perempuan diposisikan memegang kekuasaan terkait harta pusaka dan anak laki-laki tidak dapat menjadi ahli waris atas benda tersebut. Sebutan untuk anak perempuan ini sebagai anak batino. Bahkan, dalam ritual Kenduri sko, perempuan diposisikan sebagai dayang atau cenayang yang memiliki peran perantara sekaligus pemimpin jalannya ritual. 

Dalam konteks bahasa dan gender, dua fenomena di atas menunjukkan bahwa masing-masing kebudayaan memiliki pandangan ideologisnya terhadap peran laki-laki dan perempuan. Jika dilihat lebih luas, kebudayaan di Indonesia secara turun-temurun sudah memiliki suatu konvensi etik dan norma terkait gender. Wacana tersebut menjadi penting dan relevan pada era digital teknologi dewasa ini. Betapa tidak, pascapandemi dan disrupsi, arus informasi yang membludak, menjadikan kita (generasi muda dan masyarakat Indonesia) secara umum terdegradasi. Globalisasi yang masif, semakin mengendalikan kita, berangsur-angsur mengurangi kesadaran dan sensibilitas kita atas ruang dan waktu terutama dalam konteks gender.

Beberapa kasus dari berita di media dan televisi, bisa menjadi refleksi bersama bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan lebih dari itu. Bahasa bisa menjadi senjata yang secara diskriminatif melecehkan, mendiskreditkan, bahkan merundung lawan jenis di ranah publik. Salah satu aspek yang mungkin menjadi penyebabnya adalah bagaimana pandangan kita terhadap lawan jenis sehingga hal ini yang kemudian membuat kita tidak mampu mengontrol “piranti” kebahasaan kita di ruang publik. 

Barangkali manusia adalah subjek yang berhasrat dan bahasa adalah alat untuk mengekspresikan hasrat. Melalui “hasrat” purba inilah, manusia membentuk dan mengidentifikasi lingkungannya. Ia bisa demikian santun sekaligus sangat liar dan buas pada wilayah lainnya. Laki-laki dan perempuan adalah pengguna bahasa, keduanya adalah subjek yang berhasrat. Dalam wilayah keduanya, bahasa bisa menjelma sebagai warna pagi yang lembut dimekarkan embun-embun. Atau menjadi asap pekat dan bau sangit kebakaran lahan yang terus-menerus menghantui kebudayaan. *

Jambi, November 2023

 

Biodata Penulis

Rini Febriani Hauri, tinggal di Jambi. Menulis beberapa buku puisi dan prosa. Saat ini berkegiatan sebagai pengajar dan kreator konten

Tag
Share