Perampasan Hak Asuh Anak Dikenali Sebagai Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Ilustrasi - Kekerasan terhadap perempuan. FOTO ANTARA/Dok --

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami merupakan tindakan kekerasan berbasis gender yang serius terhadap perempuan.
Menurut pernyataan Komnas Perempuan, tindakan ini sering kali digunakan oleh pelaku untuk menunjukkan kontrol mereka atas istri atau sebagai bentuk balas dendam saat istri bertekad untuk bercerai.
“Perampasan hak asuh ini menyebabkan trauma yang berkepanjangan dan dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik perempuan,” ungkap.
Sebelumnya, lima orang ibu telah mengajukan uji materi terhadap Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dianggap menciptakan ketidakpastian hukum.

BACA JUGA:Kejagung Nilai Perlu Diterbitkannya Peraturan Hak Asuh Anak

BACA JUGA:Tuntut Hak Asuh Anak

Mereka mengkritik frasa "barang siapa" dalam pasal tersebut.
Pada Kamis (26/9), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan tersebut sebagaimana dikutip jambiekspres.co dari Antara.

Namun, MK menegaskan dalam putusannya bahwa orang tua yang secara paksa mengambil anak tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Komnas Perempuan mencatat bahwa pengalaman para pemohon dalam uji materi tersebut mencerminkan situasi yang dihadapi banyak perempuan lainnya.

Data yang dihimpun Komnas Perempuan dari 2019 hingga 2023 menunjukkan bahwa sepertiga dari 309 kasus kekerasan yang dilaporkan melibatkan mantan suami dalam konteks pengasuhan anak.
Dari 93 kasus yang tercatat, 44 di antaranya terjadi meskipun para ibu telah mendapatkan hak pengasuhan berdasarkan putusan pengadilan.

Perebutan hak asuh sering kali terjadi bahkan saat proses perceraian masih berlangsung, dengan sejumlah suami yang berusaha memutuskan hubungan anak dengan ibunya.
Tindakan ini, menurut catatan Komnas Perempuan, sering dilakukan untuk menyandera istri agar tidak melanjutkan gugatan cerai atau sebagai cara untuk memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada istri.
Dalam periode yang sama, Komnas Perempuan mencatat 222 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang berkaitan dengan perebutan anak dari total 3.079 kasus KTI.
Karena itu, Komnas Perempuan memberikan apresiasi terhadap putusan MK No. 140/PUU-XXI/2023 yang menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap keputusan pengadilan dalam hak pengasuhan anak bagi pasangan yang bercerai.

Putusan ini menjadi langkah signifikan untuk memperkuat akses perempuan terhadap keadilan serta hak-hak mereka dalam konteks perkawinan, sekaligus memberikan kepastian hukum dengan menghapus ambiguitas dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHP. (*)

Tag
Share