Pendidikan Dasar Harus Fokus pada Logika, Bukan Hafalan
Wakil Dekan Sekolah Bisnis IPB Tanti Novianti dalam acara Diskusi Publik Indef yang bertajuk ‘Kupas Tuntas Kebijakan Pendidikan dan SDM’ di Jakarta.--
“Dulu, kita sering diminta untuk menghafal tabel perkalian atau melakukan perhitungan manual. Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal membangun dasar kemampuan logika. Sekarang, dengan kemudahan teknologi, anak-anak jadi lebih mudah mencari jawaban tanpa melibatkan proses berpikir yang mendalam,” jelasnya.
Tanti menegaskan bahwa meskipun teknologi dapat menjadi alat bantu yang bermanfaat, tidak seharusnya teknologi menggantikan proses berpikir dan latihan dasar yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak-anak.
Sebagai solusi, Tanti mengusulkan pentingnya mengintegrasikan kegiatan yang dapat merangsang kemampuan berpikir kritis pada anak-anak, seperti debat dan diskusi yang berfokus pada topik-topik yang relevan dengan kehidupan mereka.
Selain di sekolah, kebiasaan ini juga harus didorong di rumah, dengan melibatkan orang tua dalam mengarahkan anak untuk mengembangkan pola pikir kritis sejak usia dini.
“Berpikir kritis tidak hanya bisa dikembangkan di sekolah, tetapi juga di rumah. Orang tua memiliki peran besar dalam membentuk kebiasaan berpikir anak. Misalnya, dengan mengajak mereka berdiskusi atau bahkan berdebat mengenai hal-hal yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Tanti.
Tanti juga menyarankan agar pendidikan dasar mencakup pendekatan yang mengutamakan keterampilan problem-solving, di mana anak-anak diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri.
Hal ini dapat dilakukan melalui metode pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), yang memberi ruang bagi anak-anak untuk mengeksplorasi berbagai solusi dan beradaptasi dengan tantangan yang ada.
Selain itu, peran guru sangat penting dalam membimbing siswa pada tahap pendidikan dasar. Guru-guru di tingkat SD memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk keterampilan dasar anak, mulai dari kemampuan berhitung, membaca, hingga kemampuan berpikir kritis.
Pembinaan yang baik di tingkat dasar akan membentuk karakter siswa yang lebih siap menghadapi tantangan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Guru-guru di tingkat SD memiliki peran yang sangat penting, mereka adalah yang pertama kali menanamkan kemampuan dasar pada anak-anak. Mereka tidak hanya mengajar teori, tetapi juga harus mampu membimbing anak-anak untuk berpikir secara kritis, mencari solusi, dan belajar melalui pengalaman,” ujar Tanti.
Setelah dasar-dasar logika dan analisis terbentuk, Tanti menyarankan agar pendidikan di tingkat menengah (SMA) dan perguruan tinggi lebih difokuskan pada pengembangan soft skills, etika, dan pemikiran kritis yang lebih kompleks. Namun, tanpa fondasi logika yang kuat, pengembangan keterampilan ini akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, perhatian yang cukup pada pendidikan dasar sangat penting agar siswa memiliki landasan yang kokoh dalam berpikir dan memecahkan masalah.
“Setelah di tingkat dasar, kita bisa mulai fokus pada pengembangan soft skills, seperti komunikasi, kepemimpinan, dan etika. Namun, tanpa kemampuan berpikir kritis yang terasah sejak dini, anak-anak akan kesulitan untuk mengembangkan soft skills secara maksimal,” tambahnya.
Tanti Novianti menekankan bahwa sistem pendidikan Indonesia perlu beradaptasi dengan kebutuhan zaman yang semakin menuntut kemampuan berpikir kritis dan analitis. Dengan memperbaiki pendekatan pendidikan dasar, seperti mengutamakan pengembangan logika dan kemampuan analisis, serta mendorong kebiasaan berpikir kritis sejak dini, diharapkan siswa dapat lebih siap menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks. Guru, orang tua, dan kebijakan pendidikan perlu berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan keterampilan intelektual dan soft skills yang seimbang bagi generasi mendatang. (*)