Peneliti Nilai Skema KUR Dapat Diterapkan Untuk Energi Terbarukan
Pekerja memasang panel surya di area perkebunan hidroponik Samata Green House (SGH), Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat (1/11/2024). ANTARA FOTO/Hasrul Said/aww.--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Skema subsidi bunga dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dapat diterapkan perbankan untuk pendanaan energi terbarukan skala komunitas guna mempercepat transisi energi nasional, kata peneliti Center for Economic and Law Studies (Celios).
"Perbankan nasional seharusnya memberikan subsidi bunga untuk penyaluran kredit energi terbarukan skala komunitas, seperti skema Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan memperbesar porsi pembiayaan berkelanjutan (sustainability link loan),” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Sejalan dengan itu, Bhima menilai perbankan juga perlu memberikan batasan pada pembiayaan energi fosil. Terlebih, saat ini, ujar dia, investasi pembangkit listrik energi terbarukan sudah semakin kompetitif, dengan investasi pembangkit listrik surya diperkirakan hanya 410 dolar AS per kilowatt (kW) dibandingkan PLTU ultra supercritical US$ 1.430/kW pada 2050.
Bhima mengutip visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin menutup PLTU dalam 15 tahun ke depan. Dengan visi Presiden itu, kata Bhima, perbankan perlu membatasi pembiayaan ke energi fosil.
BACA JUGA:OJK Perkuat Integritas Perbankan
BACA JUGA:Transaksi Perbankan Digital BNI Tembus Rp1.104 T
Presiden Prabowo dalam sesi ketiga KTT G20 di Brasil, 20 November 2024, menyampaikan Indonesia berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Indonesia, kata Prabowo, juga berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan.
Just Energy Transition Associate dari Lembaga CERAH, Wicaksono Gitawan, mengatakaan meningkatnya pemberitaan perbankan domestik tentang komitmen pembiayaan hijaunya yang semakin tinggi harus dibarengi dengan langkah konkrit.
"Apalagi, Presiden Prabowo sudah mengungkapkan keinginannya untuk segera menghentikan penggunaan PLTU batu bara di 2040," katanya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator juga dinilai memiliki peran yang penting dalam mendorong transisi energi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Linda Rosalina mengatakan Taksonomi untuk Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang dikeluarkan OJK perlu lebih kuat dalam mendefinisikan kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa masuk dalam kategori hijau.
“Hilangnya klasifikasi merah yang ada dalam Taksonomi Hijau Indonesia (THI) di TKBI menjadi hijau dan transisi menyiratkan bahwa kegiatan yang masuk dalam kategori transisi akan mengalami perbaikan, padahal tidak selalu seperti itu. Apalagi, klasifikasi hijau hanya mengacu pada sertifikasi, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam kasus sawit,” kata Linda. (ant)