Transisi Energi Belum Tercapai Akibat Kurangnya Komitmen Politik
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam peluncuran IETO 2025, Jakarta, Kamis (5/12/2024). (ANTARA/HO-IESR)--
Sebelumnya di KTT APEC Presiden menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun dari sekarang. Fabby menilai misi ini bukan hal yang mustahil jika dilengkapi dengan upaya melakukan reformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu, sehingga dapat memastikan ketahanan energi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Pada kesempatan yang sama, Manajer Riset IESR yang juga menjadi penulis IETO 2025 Raditya Wiranegara mengungkapkan semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batu bara, liquefied petroleum gas (LPG) dan bahan bakar minyak (BBM).
Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada 2023. Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) kapasitasnya berkembang menjadi 21 GW di 2023 sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama.
Ditambah lagi sebanyak 87 persen rumah tangga menggunakan LPG yang disubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp83 triliun pada kuartal keempat 2024. Sementara, energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan.
“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke sektor energi terbarukan. Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS," kata Raditya.
Dari analisis IESR, lanjut dia, pensiun dini PLTU Cirebon-1, misalnya, akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar USD 31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai USD 62-324/tCO2e.
"Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula meningkatkan pengawasan PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan,” jelas Raditya. (ant)