Telaga Wan An
Oleh : Dahlan Iskan--
Oleh: Dahlan Iskan
''ITU hotel?'' tanya saya. Jari saya menunjuk satu bangunan besar. Seperti baru. Empat lantai. Di pinggir 'danau' yang teduh, damai dan tenang. Kanan kiri bangunan itu hutan. Berbukit. Di belakangnya gunung.
Bangunan itu seperti tempat peristirahatan.
Saya memotretnya dari sisi lain ''danau''. Lihatlah hasilnya. Kurang bagus. Seperti wartawan-foto comberan. Apalagi motretnya hanya pakai HP. Itu pun HP yang sudah terluka di empat pojoknya: luka yang tidak bisa disembuhkan, pun ketika sudah dibawa pergi jauh.
Yang saya tanya adalah pimpinan proyek yang lagi saya kunjungi. Ia sudah sejak muda bekerja di situ. Ia hafal perjalanan perubahan di desa pedalaman Tiongkok ini.
Jawab teman itu mengagetkan saya. Itu bukan hotel. Bukan vila.
''Itu rumah penduduk desa ini,'' jawabnya. ''Mereka petani. Lahan garapan mereka di bukit belakang rumah itu,'' tambahnya.
Rumah petani. Di pedalaman. Naik kereta 14 jam dari Beijing.
Jauh di kiri rumah tersebut, dipisahkan oleh hutan, terlihat rumah sejenis yang lebih banyak.
Di bawah lagi terdapat kampung yang lebih besar. Bentuk rumahnya kurang lebih sama. Desa ini berada di 300 km dari ibu kota provinsi. Jauh sekali dari kota besar. Di pegunungan.
Kemakmuran rupanya sudah begitu merata. Sudah sampai ke desa yang nun begitu jauh.
Padahal, provinsi ini, kabupaten ini, termasuk wilayah termiskin di Tiongkok 40 tahun lalu. Lebih-lebih kecamatan ini: kecamatan Wan An (万安) di provinsi Jiangxi.
Di situ ada sungai yang dibendung. Tinggi. Panjang bendungan 1,2 km. Berarti selebar itulah ''danau'' buatan itu. Jadilah seperti danau besar.
Saya menyusuri bagian atas bendungan itu: jalan kaki 1,5 km. Ditambah naik gunung 245 trap. Di senja hari. Di udara 20 derajat.