Pembentukan Panja RUU Pemilu Tunggu Pimpinan DPR

Ketua Komisi II DPR RI M Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan keterangan pers kepada awak media dalam sebuah kesempatan di gedung parlemen. --
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Ketua Komisi II DPR RI M Rifqinizamy Karsayuda mengaku pihaknya belum berencana untuk membuat panitia kerja (Panja) revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal.
Dia menegaskan bahwa sikap Komisi II DPR RI terhadap pembahasan revisi UU Pemilu hingga revisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang wacananya akan disatukan menjadi RUU Omnibus Law Politik menunggu keputusan pimpinan DPR RI.
“Oh, enggak (berencana bentuk Panja RUU Pemilu). Kalau sikap kami jelas dari awal tadi kami juga tegaskan kembali, sikap Komisi II terkait dengan pembahasan RUU Pemilu, bahkan RUU Omnibus Law Politik, secara keseluruhan menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR,” kata Rifqi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan DPR RI terkait pelaksanaan waktu hingga alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI yang akan ditugaskan melakukan pembahasan tersebut.
Meski demikian, dia mengaku bersedia apabila Komisi II DPR RI yang nantinya akan ditugaskan untuk menggulirkan pembahasan RUU Pemilu. “Tentu secara subjektivitas, kami pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI karena tugas keseharian kami itu adalah mengurusi urusan kepemiluan, tentu sangat bangga dan terhormat kalau kemudian pembahasannya diletakkan di Komisi II DPR RI,“ tuturnya.
Di sisi lain, Rifqi mengaku DPR RI belum dapat menyampaikan sikap resmi soal putusan MK yang memisahkan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal karena akan terlebih dahulu menelaah dan mengkajinya.
Hal tersebut, lanjut dia, sebagaimana hasil rapat Komisi II DPR RI dengan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad beserta pimpinan komisi terkait dan jajaran pemerintah lainnya yang dilakukan pada Senin pagi.
"DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, mereka sepakat untuk menelaah dan mengkaji terlebih dahulu terkait putusan MK soal pelaksanaan pemilu," katanya.
Bahkan, dia menilai putusan MK terbaru itu sebetulnya kontradiktif dengan putusan MK sebelumnya yang memutus soal gugatan uji materi terkait sistem pemilu.
“Saya kira putusan Mahkamah Konstitusi itu juga, kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif,” ucapnya.
Dia lantas mencontohkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 terkait desain keserentakan pemilu yang dalam pertimbangan hukumnya memberikan kewenangan kepada DPR RI selaku pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu.
“Satu dari enam model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada Pemilu Tahun 2024 yang lalu, tapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba ‘bukan memberikan peluang’ kepada kami pembentuk undang-undang untuk kemudian menetapkan satu dari enam model itu di dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini,” kata dia.
Sebelumnya, Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah. (*)