Putusan MK Jadi Titik Balik Sistem Pemilu 2029, Apkasi Dorong Solusi Damai Transisi Pemerintahan Daerah

Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi memimpin diskusi terbuka secara daring yang diikuti oleh sekitar 160 peserta terkait putusan MK. --

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang membagi pemilu menjadi dua jenis, yakni pemilu nasional dan pemilu daerah, menjadi titik balik penting dalam desain kelembagaan demokrasi Indonesia.
Efektif mulai 2029, keputusan ini akan mengubah sistem pemilu serentak lima kotak yang pertama kali diterapkan pada 2024, menjadi sistem terpisah antara pemilihan presiden, DPR, dan DPD dengan pemilihan DPRD serta kepala daerah.
Putusan ini tidak hanya berdampak pada kalender politik, tetapi juga mengguncang seluruh tata kelola penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal.
Maka, keputusan mahkamah ini memerlukan respons kebijakan yang cermat, akomodatif, dan tetap berpijak pada kepentingan rakyat.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), sebagai organisasi yang menaungi para bupati, menyikapi perubahan ini dengan pendekatan deliberatif.
Pada 2 Juli 2025, Apkasi menggelar diskusi terbuka secara daring yang diikuti oleh sekitar 160 peserta, terdiri dari para bupati serta pimpinan dan anggota DPRD dari Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi).
Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi menegaskan bahwa diskusi ini merupakan upaya awal dalam menyerap aspirasi daerah, sebelum Apkasi mengambil sikap resmi.
Langkah ini penting, karena putusan MK menyangkut hajat hidup politik seluruh kabupaten di Indonesia. Sikap inklusif ini menunjukkan bahwa Apkasi menempatkan partisipasi daerah sebagai landasan utama dalam membangun konsensus nasional pasca-putusan MK.
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tentu tidak bisa ditawar, namun pelaksanaannya tetap membutuhkan adaptasi kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang matang.
Sementar itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menyatakan bahwa DPR akan merespons putusan MK, sesuai dengan mekanisme yang berlaku, termasuk melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu yang kini menjadi prioritas dalam Prolegnas.
Hal yang paling mengundang perhatian adalah potensi kekosongan jabatan kepala daerah dan DPRD, yang diperkirakan terjadi setelah masa jabatan mereka berakhir dan belum terselenggara pemilu baru sesuai sistem terpisah.
Dalam skenario saat ini, menurut Zulfikar, kekosongan jabatan kepala daerah akan diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah, sementara kekosongan DPRD dianggap bukan persoalan besar karena pengalaman daerah otonomi baru menunjukkan pemerintahan tetap berjalan, meski tanpa DPRD dalam waktu yang cukup lama.
Hanya saja, pandangan teknokratik ini tidak serta-merta menyelesaikan persoalan substansial di tingkat lokal. Kekosongan jabatan politik yang diisi oleh penjabat adalah solusi administratif, bukan solusi demokratis.
Prof Ramlan Surbakti, pakar ilmu pemerintahan, mengingatkan bahwa penunjukan Pj kepala daerah berpotensi menimbulkan masalah dalam keberlanjutan pemerintahan, karena tidak memiliki legitimasi elektoral yang memadai.
Karena itu, jalan keluar alternatifnya adalah perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan DPRD sebagai solusi yang lebih konsisten dengan semangat otonomi daerah dan kesinambungan pembangunan.
Pendapat ini diperkuat oleh Titi Anggraini, pemerhati pemilu, yang menilai bahwa pendekatan ini tidak semestinya dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari strategi pemulihan otonomi daerah yang selama ini kerap "sakit-sakitan” dalam konteks politik elektoral lokal.
Perpanjangan masa jabatan, justru lebih sederhana, efisien, dan minim gejolak sosial dibandingkan penunjukan penjabat yang sering menimbulkan konflik kepentingan dan tarik ulur antara pusat dan daerah. Dalam hal ini, Apkasi tampak cermat membaca medan.
Sekretaris Jenderal Apkasi Joune Ganda yang juga Bupati Minahasa Utara menyatakan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala daerah merupakan solusi konstitusional yang paling realistis untuk memastikan transisi ke sistem pemilu terpisah berjalan tanpa gangguan.
Tidak hanya soal kekuasaan, tetapi lebih kepada kepastian tata kelola pemerintahan daerah. Kekosongan kepala daerah maupun DPRD berpotensi melemahkan kapasitas pemerintah daerah dalam menjalankan pembangunan dan pelayanan publik.
Situasi ini bisa mengancam stabilitas lokal dan memperbesar ketimpangan koordinasi antara pusat dan daerah. Karena itu, upaya mencari solusi bukan hanya tentang menyusun agenda legislasi, tetapi juga menjaga keberlanjutan pemerintahan. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan