Baca Koran Jambi Ekspres Online

Hilangnya Suara Murid dalam Pembelajaran

Muhammad Refiu Setiadi--

Oleh: Muhammad Refiu Setiadi*

DI tengah tuntutan peningkatan literasi matematika global, kita sering kali dihadapkan pada realitas kelas yang kontradiktif: siswa duduk pasif, mencatat, dan enggan berinteraksi, apalagi mengajukan pertanyaan kritis. Problematika ini tidak hanya mencerminkan kurangnya minat siswa, tetapi juga menyoroti peran sentral guru dalam membentuk iklim belajar yang suportif terhadap eksplorasi dan wacana matematis.
Jika kita merujuk pada pentingnya kesadaran, sikap, dan perilaku dalam pendidikan seperti yang ditekankan dalam isu keberlanjutan prinsip yang sama berlaku dalam pembelajaran matematika. Masa depan kompetensi matematika sangat bergantung pada seberapa jauh guru mampu mengubah kelas menjadi ruang interaksi yang dinamis, di mana bertanya dan berdiskusi adalah keniscayaan, bukan pengecualian.
Stereotip yang sering menggema adalah tida sedikit siswa yang memandang matematika sebagai seperangkat rumus yang harus dihafal dan prosedur yang harus ditiru. Siswa yang tidak mengerti memilih diam karena takut dianggap bertanya adalah "bodoh" oleh teman atau guru. Mereka khawatir akan dihakimi!
Sikap mental seperti ini menjadi hambatan tersendiri dalam tumbuh kembang karakter murid. Ketika murid menahan pertanyaan yang muncul dari kesulitan memahami konseptual, mereka hanya memperoleh pemahaman superfisial. Mereka gagal mengembangkan kemampuan penting untuk mengartikulasikan kesulitan mereka sebuah keterampilan yang merupakan jantung dari pemecahan masalah. Sikap positif terhadap matematika hanya akan tumbuh jika kesalahan dan kebingungan dilihat sebagai langkah penting dalam proses pembelajaran, bukan akhir dari segalanya.
 
Di sisi lain, guru sering kali dipengaruhi oleh tekanan kurikulum yang padat. Guru cenderung berfokus pada penyelesaian materi (covering the content) daripada memastikan pemahaman mendalam (uncovering the content). Alhasil, waktu untuk interaksi dan tanya jawab sangat dibatasi.
Pengamatan yang penulis lakukan dalam observasi di beberapa kelas pembelajaran murid setara SMP menunjukkan bahwa waktu yang dialokasikan guru untuk sesi tanya jawab terbuka sangat minim dari total durasi pembelajaran. Hasil observasi ini juga mencatat bahwa sebagian besar pertanyaan yang diajukan guru adalah pertanyaan tertutup, bukan pertanyaan yang memicu diskusi. Lebih lanjut, hasil penyebaran angket kepada siswa menguatkan temuan ini, dimana mayoritas murid mengakui bahwa mereka sering tidak bertanya karena khawatir pertanyaan mereka akan dinilai suatu bentuk kebodohan atau kesalahan, selain itu guru juga cenderung langsung memberikan jawaban tanpa meminta mereka mencoba menjelaskan terlebih dahulu.
Kurangnya dorongan interaksi di dalam kelas pembelajaran tersebut secara tidak langsung mengirimkan pesan kepada murid bahwa tugas mereka hanyalah mendengarkan, mencatat, dan mengulang, bukan mengeksplorasi dan berdebat secara matematis.
Mengapa Interaksi dan Bertanya Adalah Investasi Krusial? Dalam pembelajaran matematika, interaksi (wacana) dan bertanya (pertanyaan diagnostik) merupakan awal mula dari pengembangan pemikiran kritis.
1.    Interaksi menegakkan pemahaman; ketika siswa berinteraksi berdiskusi, berdebat tentang metode, atau menjelaskan solusi kepada teman sebaya mereka diarahkan untuk menginternalisasi dan menyusun ulang pengetahuan mereka.
2.    Bertanya mengungkap miskonsepsi; pertanyaan murid adalah alat diagnostik terbaik bagi guru. Pertanyaan yang diajukan menunjukkan area kebingungan spesifik yang perlu diperbaiki, sehingga pembelajaran dapat ditargetkan dengan lebih efektif.
Tanpa kedua elemen ini, murid  akan gagal dalam menerapkan konsep matematika pada situasi yang berbeda (low mathematical literacy).
Lalu bagaimanakah langkah strategis sebagai solusi? Tentu saja kita menginginkan perubahan dan selayaknya juga segera dimulai.
1. Ciptakan budaya kelas yang aman (safe classroom culture); guru harus secara eksplisit menyatakan bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar. Berikan pujian untuk upaya dan proses berpikir, bukan hanya pada jawaban yang benar.
2. Fasilitasi wacana matematis; berapkan model pembelajaran yang menuntut kolaborasi, seperti pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) atau diskusi kelompok yang terstruktur. Membiasakan memantik kelas dengan pertanyaan tingkat tinggi (higher-order questioning) yang memicu pemikiran, bukan hanya mengingat fakta.
3. Integrasikan teknologi untuk interaksi; manfaatkan platform atau tools digital yang memungkinkan siswa mengirimkan pertanyaan secara mudah, yang dapat memudahkan partisipasi meskipun secara tertulis.
4. Pengembangan kompetensi pendidik yang berfokus pada pedagogi diskursif; pendidik perlu dibekali pelatihan yang tidak hanya fokus pada materi, tetapi juga pada teknik fasilitasi diskusi matematika dan manajemen kelas yang mendorong interaksi yang sehat dan produktif.
Prioritas untuk mendorong siswa berinteraksi dan bertanya di kelas bukanlah sekadar tentang pendekatan pengajaran, melainkan investasi tak ternilai dalam pembentukan generasi yang mampu berpikir logis, analitis, dan kritis (mathematically literate). (Afiliasi; Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Batanghari)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan