Saset Kompor
Oleh : Dahlan Iskan--
Waktunya sarapan.
Saya lihat mie instan itu. Saya perhatikan baik-baik tulisannya. Ternyata bukan mie.
''Ini apa?'' tanya saya.
Dia turun dari atas. Semula saya yang usul agar saya saja yang di atas. Saya kan laki-laki. Dia menjawab: ''saya yang di atas''. Dia merasa lebih muda. Lebih kuat di (ke) atas.
Ternyata itu nasi. Lauknya kare. Bisa pilih: kare ayam atau daging sapi. Dia menyodorkan dua pilihan itu. ''Yang ini untuk saya,'' katanyi. Saya lirik tulisan di luarnya: 猪肉. Daging babi.
Nasi di dalam kotak itu masih berupa beras. Saya harus memasaknya dulu untuk menjadi nasi. Masak nasi di kereta api.
Saya buka bungkus plastiknya. Saya buka tutupnya. Isinya macam-macam. Tersimpan dalam berbagai saset terpisah.
Ada saset berisi beras. Ada saset berisi kare daging, irisan kentang dan wortel. Ada saset berisi sayuran kering. Ada dua saset berisi air.
''Nah, ini saset yang jadi kompornya,'' katanyi.
Saset yang berfungsi sebagai ''kompor'' itu jangan dibuka. Ada tulisan di luarnya: jangan dimakan.
Saset ''kompor'' ini harus ditaruh di bagian paling bawah kotak. Lalu air satu saset dituangkan. Sesaat kemudian air itu mendidih. Beras dituang ke kotak kecil. Diberi air dari saset kedua. Karenya ditaruh di kotak sebelah beras. Sayur kering ditabur di atas kare.
Kotak pun ditutup. Air mendidih. Kotaknya saya pegang: panas sekali. Uap didih keluar dari lubang kecil di penutup kotak. Sekitar 12 menit kemudian tidak ada uap lagi. Pertanda nasi sudah masak.
Saya buka tutup kotak itu. Uap mengebul. Masih panas. Nasi panas. Kare panas. Merangsang selera makan pagi setelah satu malam kedinginan.
Nasinya punel sekali. Seperti nasi Jepang. Saya tahu: ini berasnya pasti dari Tiongkok bagian Dongbei. Jagung ketan pun awalnya dari provinsi Heilongjiang dan sekitarnya.
Rasa karenya sudah disesuaikan dengan lidah Tiongkok. Tidak terlalu menyengat –seperti di tempat asalnya, India. Banyak orang Tiongkok kini sudah suka kare.