Susuri Lorong Waktu Dengan Privasi yang Lebih Baik
BANGUNAN TERTUA: Klenteng Shee Hin Kiong di Kota Tua Padang. Klenteng itu menjadi bangunan tertua yang saat ini masih ada di Kota Tua Padang, dibangun pada 1861. FOTO :ANTARA/MIKO ELFISHA --
Menikmati Marine Tourism Sumbar Dalam Satu Paket
Matahari baru saja naik sepenggalah di pinggiran Sungai Batang Arau, Padang, Sumatera Barat, memunculkan gradasi gelap terang di antara bangunan tua peninggalan Belanda yang berjejer rapi di pinggiran kali.
---
BEBERAPA bangunan terlihat baru saja dipugar. Gagah dengan gaya arsitektur Eropa Abad XVII. Bangunan lama yang dipugar itu dialihfungsikan menjadi kafe yang estetik, Instagramable.
Letaknya yang strategis di pinggir Sungai Batang Arau, yang masih mempertahankan fungsinya sebagai pelabuhan kapal, memperkuat kesan melankolis. Terlebih saat menjelang senja, saat matahari perlahan tenggelam dalam pelukan samudra.
Menyusuri Kota Tua Padang pada pagi hari juga tidak akan mengecewakan. Menikmati Kawasan Kota Tua pada pagi hari adalah menikmati lorong waktu dengan privasi yang agak lebih baik, karena tidak terlalu banyak aktivitas masyarakat. Hanya ada satu dua kendaraan yang lewat dengan laju cukup pelan.
Pada salah satu sudut kawasan Kota Tua, sebuah klenteng tua berukuran 15,5 x15,5 M2 yang didominasi warna merah cerah berdiri menantang lintasan waktu.
BACA JUGA:Kim Bora Umumkan Segera Menikah
Anggota Komunitas Padang Herritage Danil menyebut selain bangunan peninggalan kolonial Belanda, di kawasan Kota Tua Padang memang juga berdiri bangunan lama bercorak Tionghoa, India dan Arab.
Klenteng Shee Hin Kiong itu adalah bangunan tertua yang masih berdiri di Kota Tua Padang, saat ini. Didirikan pada 1861.
Klenteng itu dulunya berfungsi sebagai Vihara Tri Dharma yang menjadi tempat beribadah tiga kepercayaan, yaitu Tao, Konfuisme, dan Agama Buddha. Namun sejak 2009, tidak lagi difungsikan sebagai tempat ibadah.
Meski arsitekturnya tidak berubah sejak pertama didirikan, namun kelenteng itu sudah dua kali direnovasi. Berdasarkan prasasti yang ditemukan di klenteng tersebut, bangunan itu pernah terbakar pada 1861 dan didirikan kembali pada 1897.
Saat gempa besar melanda Padang pada 2009, bangunan itu kembali mengalami rusak parah dan kembali dipugar. Awalnya bangunannya terdiri dari kayu beratapkan rumbio (daun yang mirip daun kelapa). Setelah dipugar kembali menjadi bangunan permanen, arsitektur lamanya tetap dipertahankan.