Tahu Diri Lebih Penting Ketimbang Bela Diri

AKTOR LAGA: Aktor seni peran Yayan Ruhian bercengkrama dengan istri dan putri di kampung halamannya Desa Cibeber, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. --

Yayan mulai mempelajari seni bela diri pencak silat ketika dirinya berusia 13 tahun. Kala itu sekitar tahun 1981, kondisi Desa Cibeber yang menjadi kampung halaman Yayan tak seperti saat ini, masih minim listrik dengan kondisi jalanan yang tidak terawat baik.

“Jalanan belum seperti sekarang, bahkan kerbau atau sapi lewat saja masih memilih-milih jalan. Di kampung belum ada perguruan, jadi saya hanya fokus belajar silat. Setiap bertemu guru silat, kami mengobrol, zikir, dan harus mandi malam,” kata Yayan mulai membuka kisah masa kecilnya seraya duduk bersila di selasar pondokan.

Pada masa itu, Yayan cilik terbiasa untuk

berguru silat setiap malam selepas salat Isya hingga pukul dua pagi. Lokasi rumah para guru pun tak bisa dibilang dekat dengan rumah Yayan sehingga butuh ekstra niat dan tenaga untuk memperdalam ilmu pencak silat.

“Bahkan ada salah satu guru saya yang rumahnya melewati banyak pematang sawah dan harus berjalan kaki setengah jam. Seru sekali,” ingat Yayan.

Ketika menginjak usia SMA, Yayan lantas bergabung dengan sebuah perguruan yang bernama Kateda Indonesia. Di perguruan itu, Yayan mempelajari cara mengolah pernapasan yang tidak hanya membuat tubuh bugar dan sehat, namun juga kuat terhadap segala benturan benda tumpul.

Dia masuk dalam lima besar pesilat yang lolos seleksi untuk naik tingkat ke sabuk cokelat alias menjadi asisten pelatih. Yayan pun diminta oleh gurunya agar ikut ke Jakarta untuk menjadi pelatih bela diri profesional.

Awalnya, Yayan masih merasa ragu karena dirinya masih memiliki hobi lain yaitu bermain sepak bola dan bulu tangkis di kampung. Terlebih, dirinya juga menjadi sosok andalan di dua ranah tersebut. Meski bertubuh kecil, Yayan mantap dipercaya sebagai seorang penjaga gawang bagi kesebelasan di kampungnya.

“Kalau kami ketemu lawan, mereka selalu bilang, ‘Ini kiper nggak ada yang lebih kecil lagi?’ Wah, dia cari penyakit. Pokoknya, lawan yang berbenturan dengan saya, pasti jatuh lebih dulu. Selalu ada teknik bela yang saya terapkan saat bermain sepak bola. Tangan saya memang menangkap bola, namun ulu hati lawan juga dapat. Tanpa membuat orang bengkak, saya bisa bikin orang pingsan,” kelakar Yayan.

Saat menginjak usia SMA itu pula, Yayan mulai berupaya hidup mandiri dengan menjaga warung milik sang paman, bekerja di pabrik konfeksi milik kakak, termasuk berjualan bakso keliling kampung.

“Kalau musim Rajab, ramai sekali di kampung. Sejak sore, saya sudah menjajakan bakso, terkadang jualan comro atau buah-buahan. Itu adalah cara saya menikmati masa remaja. Kalau ada kawan yang ajak main, saya bilang nggak bisa. Kalau tidak bekerja, maka saya tidak bisa mendapatkan uang untuk bayar sekolah,” papar dia.

Sebelum meninggalkan kampung halaman menuju ibu kota pada akhir tahun 1987 untuk menjadi pelatih profesional, Yayan sempat singgah di Bandung. Selama 4 bulan, dia mendapatkan pelatihan khusus dan berlatih sejak pukul 6 pagi hingga 11 malam.

“Materi latihan fisik sampai materi lilin meditasi. Semua saya lakukan dengan enjoy. Guru saya tidak pernah memaksakan materi tertentu, namun mereka tahu persis sekiranya saya tidak berlatih. Waktu itu, guru-guru saya adalah mahasiswa-mahasiswa yang masih sangat muda dan gaul banget,” ingat Yayan

Merantau untuk “Merantau”

Ketika menetap di Jakarta, Yayan habis-habisan menekuni aktivitas sebagai guru pencak silat. Seiring berjalan waktu, perguruan Kateda Indonesia pun berganti nama menjadi Perguruan Silat Tenaga Dasar (PSTD) Indonesia. Hal itu dilakukan, kata Yayan, untuk mendekatkan diri ke induk perguruan pencak silat Indonesia.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan