Luhut Presiden
Oleh : Dahlan Iskan--
''Iya. Ini makanannya datang,'' ujar sang Putri.
Meja makan pun ditarik ke depan sofa. Sang Putri mengambil dua piring. Tiap piring berisi nasi goreng ala Jepang dan sayur selada segar lima lembar.
Lalu ada satu piring besar berisi daging wagyu. Diiris-iris tipis. Banyak sekali. Memenuhi piring besar.
Saya pun menengok ke Uli: ''Lho, boleh makan daging?'' tanya saya.
''Boleh. Makan apa saja boleh,'' katanyi.
Saya pun ambil wagyu-nya. Agak banyak. Maksud saya: agar beliau kebagian sedikit saja. Dan lagi, haha, ini kan daging wagyu. Kapan lagi.
Sambil makan, Pak Luhut masih telepon anak buahnya lagi. Minta laporan perkembangan pekerjaan. Yakni perlunya Indonesia punya rumah sakit seperti ini. Lalu bicara politik lagi.
Saya pun ikut memberi masukan. Sedikit. Membangun rumah sakit tidak sulit. Dokter kita juga tidak kalah pintar. Yang lebih perlu dibangun adalah budaya tim dokter.
''Secara individu dokter kita hebat. Tapi kita perlu punya ratusan tim dokter yang andal. Membangun tim tidak mudah. Harus ditemukan caranya''.
Tentu masukan itu saya pinjam dari pendapat Ketua IDI Surabaya: Dr dr Brahmana. Ahli kanker kandungan. Itu dijelaskan di podcast saya saat di RS Premier Surabaya.
Saya pun melirik jam dinding. Sudah satu jam lebih. Pak Luhut masih sangat bersemangat. Saya tidak boleh terpancing. Pak Luhut tidak boleh terlalu excited. Belum boleh.
Saya masih harus bertahan. Pak Luhut ingin memeragakan salah satu latihan penyembuhannya: bagaimana cara duduk di sofa rendah yang harus ia lakukan. Bagi orang yang beruntung karena badannya pendek tidak perlu ini: jarak pantat dan sofa sudah dekat. Tapi orang setinggi Pak Luhut otot pahanya harus kuat. Agar proses duduknya tidak mengentak.
Pak Luhut pun duduk dengan cara yang benar. Otot pahanya yang bekerja. Kuat. Ia duduk perlahan. Test otot paha. Bagus. Harus mengandalkan otot paha. Bukan mengandalkan tebalnya pantat.
Saya pun memaksa pamit.
Meiling sudah kembali menunggu di parkiran. Sudah saatnya makan durian. (Dahlan Iskan)