Mempererat Silaturahim Dalam Tradisi Potong Lopis Raksasa

TRADISI: Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid memberikan sambutan sebelum pemotongan lopis raksasa di Pekalongan, Rabu (17/4/2024). FOTO: ANTARA/Kutnadi --

Lopis merupakan makanan berbahan dasar ketan dan campuran kelapa yang memiliki daya tarik dan nilai filosofi budaya yaitu persatuan dan kesatuan seperti tertuang dalam sila ketiga Pancasila.

Makanan lopis memiliki makna persatuan karena terbuat dari bahan beras ketan yang mempunyai daya rekat yang kuat dibanding nasi setelah direbus.

Warna beras ketan yang putih bersih juga memiliki makna kesucian (kembali fitri) dalam suasana Lebaran.

Adapun bungkus lopis berupa daun pisang melambangkan bahwa Islam selalu menumbuhkan kebaikan dan menjaga karunia Tuhan.

Kemudian untuk ikatan atau tali pembungkus lopis menggunakan serat pelapah pisang, melambangkan kekuatan bahwa sesuatu yang sudah dicapai (kembali fitri) harus dijaga supaya tidak luntur apalagi berkurang.

"Festival lopis raksasa ini perlu dijaga dan dipelihara bersama sebagai tradisi dan budaya turun-temurun yang dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim," kata Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid.

Terdapat dua pendapat mengenai asal mula terjadinya tradisi potong lopis yaitu pertama berdasar pendapat KH Zainudin Ismail, salah seorang tokoh setempat yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1855 dan dicetuskan oleh salah seorang ulama Krapyak KH Abdullah Siradj.

Kala itu, KH Abdullah Siradj melakukan puasa Syawal satu hari setelah Lebaran selesai. Karena ia menjadi panutan di kampung itu maka warga Krapyak mengikuti jejaknya dengan menjalani puasa Syawal.

Lama kelamaan, masyarakat Pekalongan di luar Krapyak pun mengikuti kebiasaan puasa tersebut dengan tidak saling berkunjung pada saat puasa dijalankan.

Setelah usai menjalani puasa Syawal, KH Abdullah Siradj bersama dengan penganut agama Islam membuat lopis dalam ukuran kecil untuk dihidangkan kepada tamu-tamu yang singgah ke tempat mereka.

Namun, karena tamu makin banyak, mereka membuat ide untuk membuat sebuah acara dimana dibuat lopis berukuran raksasa agar dapat dihidangkan pada banyak orang.

Kemudian pendapat kedua disampaikan pemerhati sejarah dan budaya asal Pekalongan Dirhamsyah, yang menyampaikan bahwa tradisi lopis raksasa tidak ada kaitannya dengan KH Abdullah Siradj karena tempo dan jarak waktunya terlalu lama.

Tradisi lopis raksasa dapat terjadi karena masyarakat Pekalongan tergerak hatinya setelah mendengar pidato dari Presiden Soekarno pada tahun 1950.

Pada saat itu, Presiden Soekarno sedang menghadiri rapat akbar di Lapangan Kebon Rodjo (sekarang tugu monumen) berpesan kepada masyarakat Pekalongan agar selalu bersatu dan erat, halnya halnya lopis.

Sebagai upaya melanggengkan tali silaturahim maupun menjaga persatuan, masyarakat Kota Pekalongan, khususnya warga Kelurahan Krapyak menyelenggarakan tradisi syawalan dengan membuat lopis raksasa itu setiap sepekan hari Lebaran.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan