Hentikan Kebiasaan Mengukur Kebahagiaan Berdasarkan Standar Oang Lain
Dalam sebuah seminar edukasi yang diadakan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.Para dokter spesialis kesehatan jiwa memberikan pesan yang penting: hentikan kebiasaan mengukur kebahagiaan berdasarkan standar orang lain.--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Memahami konsep kebahagiaan seringkali menjadi tantangan bagi banyak individu, terutama dalam masyarakat yang serba terhubung seperti saat ini.
Dalam sebuah seminar edukasi yang diadakan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan sebagaimana dikutip Jambi Ekspres dari ANTARA, para dokter spesialis kesehatan jiwa memberikan pesan yang penting: Hentikan kebiasaan mengukur kebahagiaan berdasarkan standar orang lain.
Dokter spesialis jiwa dari RSUD Tarakan Jakarta, dr. Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ, dan dokter spesialis jiwa dari Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit Jakarta, dr. Yenny Sinambela, SpKJ (K), turut serta dalam acara tersebut untuk menyampaikan materi edukasi yang bertajuk "Bahagia Tanpa Syarat".
Dalam pandangan mereka, salah satu faktor penghambat kebahagiaan adalah tekanan yang muncul dari berusaha memenuhi standar kebahagiaan yang ditetapkan oleh orang lain.
BACA JUGA:Kiat Memakai Riasan yang Cocok Untuk Berbagai Jenis Kulit
BACA JUGA:Ramuan Jahe Bisa Perkuat Daya Tubuh saat Berpuasa pada Musim Hujan
"Misalnya usia segini mestinya sudah menikah, usia sekian mestinya sudah bekerja. Kemudian kalau sudah menikah, mestinya sudah hamil, begitu. Jadi banyak sekali standar-standar sosial yang menjadi pressure atau tekanan, itu akan menghambat orang menjadi bahagia," ungkap dr. Zulvia, yang akrab disapa dr. Vivi.
Dr. Yenny menambahkan bahwa setiap individu memiliki keunikannya sendiri-sendiri, yang tidak selalu sejalan dengan ekspektasi orang lain.
"Permasalahan muncul ketika kita menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi tertentu. Untuk merasa bahagia, seseorang mesti belajar untuk menerima kalau dirinya unik sehingga bisa melihat sisi positifnya, tidak terpaku pada sisi negatifnya saja," ujar dr. Yenny.
Di era internet seperti sekarang, ekspektasi-ekspektasi tertentu sering kali diperkuat dan diperluas melalui media sosial, yang dapat mengakibatkan perasaan tidak bahagia jika tidak memenuhi standar tersebut.
BACA JUGA:Kebutuhan Transportasi Ramah Lansia Meningkat di Indonesia
BACA JUGA:Dokter Meluruskan Mitos Seputar Paru-paru Basah
Aktivitas "flexing" atau pamer barang mewah, gaya hidup glamor, dan pencapaian materi di media sosial sering kali menjadi tolok ukur kebahagiaan, padahal kebahagiaan sejati tidak selalu terkait dengan materi.
Inisiatif seperti Jakarta Berjaga, yang dicanangkan oleh Dinkes DKI Jakarta, merupakan upaya nyata untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan mencapai kebahagiaan yang sejati.
Jakarta, yang masuk dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia, menunjukkan betapa pentingnya upaya untuk mengatasi masalah kesehatan mental.
Menurut laporan "The Least and Most Stressful Cities Index" tahun 2021, Jakarta menjadi salah satu kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia. Riset global lainnya dalam "Health Service Monitoring 2023" menunjukkan bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling mengkhawatirkan, bahkan di atas kanker.
Dengan penyelenggaraan acara seperti Jakarta Berjaga, di mana salah satu fokusnya adalah menyediakan seminar edukasi kepada masyarakat tentang cara mencapai kebahagiaan.
BACA JUGA:Tiga Profesi Ini Menurut Bill Gates Tak Tergoyahkan oleh AI, Apa Saja?
BACA JUGA:Menghadapi Menopause, Waspada terhadap Hiperkolesterol dan Dampaknya
Diharapkan bahwa kesadaran akan pentingnya kebahagiaan yang tidak terikat pada standar orang lain akan semakin meningkat.
Semoga upaya-upaya ini dapat membantu mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan mental di Jakarta dan di seluruh dunia. (*)