Fifth Avenue
Oleh : Dahlan Iskan--
BEGITU meninggalkan perbatasan Arizona berarti memasuki wilayah California. Lega.
Rasanya kami sudah tiba di Amerika. Apalagi setelah masuk kota San Diego: ini baru Amerika.
Di pantai San Diego rasanya saya sudah seperti di dekat Manado. Pantainya kan sama. Sama-sama di pinggir lautan yang sama: Lautan Pasifik. San Diego di sini, Manado di sana. Jaraknya seperti hanya sepelemparan satelit.
Tiba di San Diego, yang juga langsung berubah adalah suhu udaranya. Sama-sama segaris di selatan, tapi kok bisa: suhu di San Diego amat sejuk. Sekitar 20 derajat Celsius. Selalu mendung pula. Dua hari di San Diego tidak tersorot sinar matahari. Mata jadi jernih, apalagi hati.
Sejak di akhir wilayah Arizona juga sudah mulai ada pohon. Bahkan terlihat kebun-kebun luas nan hijau.
Sulit menduga pohon apa yang ditanam itu, sampai ada billboard besar: Arizona adalah Makkah-nya pistachio. Sejenis itu.
Begitu sering istri membelikan ’’kacang ketawa’’ itu, tapi baru tahu pusat kebunnya ada di Arizona. Tentu pernah pula dibelikan kacang ketawa yang produk California; Xinjiang, Tiongkok; dan Iran. Beda rasa. Beda bumbu.
Kian ke barat pohon tinggi juga kian banyak. Juga kian indah. Tidak seindah kawasan utara Amerika tapi sudah sangat menghibur.
Apalagi ketika jalan mulai membelah l selangkangan gunung batu itu. Pemandangannya menakjubkan. Terutama ketika sampai di ketinggian 4000 kaki. Hamparan California terlihat di bawah sana.
Selamat datang di San Diego.
Ini kali kedua saya ke San Diego --tapi ini yang pertama dari arah timur.
Kota ini banyak berubah. San Diego kelak akan saya pakai salah satu contoh soal mungkinkah Amerika dikejar Tiongkok.
Hotel saya di Fifth Avenue. Juga berubah. Jalan utama ini ditutup. Setelah pukul 12.00 mobil tidak boleh masuk. Baru dua tahun terakhir.
Covid-19 juga mengubah San Diego. Fifth Avenue hanya untuk pejalan kaki. Sepanjang lebih 10 blok --sampai ke waterfront-nya. Begitu banyak sport bar di sepanjang jalan kya-kya ini.