Dengan Sampah, Mendaur Ulang Stigma Anak Jalanan

DAUR ULANG SAMPAH: Pekerja sosial sekaligus pendiri Bank Sampah Induk (BSI) Kumala dan Yayasan Kumala Dindin Komarudin berpose bersama produk daur ulang BSI Kumala ketika ditemui di Jakarta, Jumat (7/6/2024). FOTO: ANTARA/PRISCA TRIFERNA --

Undangan pelatihan daur ulang membuka dunia mereka, membawa Dindin dan anak-anak jalanan yang diasuhnya tidak hanya berkeliling Jakarta, tapi juga berbagai wilayah lain di Indonesia. Sebuah pengalaman yang memberikan kepercayaan diri bagi para anak jalanan tersebut, membantu mengubah sudut pandang yang mereka sematkan kepada diri sendiri karena stigma masyarakat.

Lulusan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung itu bercerita awalnya mereka distigma oleh masyarakat, dianggap tidak berguna. Dengan ketekunan yang berbuah keterampilan, lambat laun banyak orang-orang mengajak mereka memberikan pelatihan tentang daur ulang.

Beragam produk daur ulang yang mereka buat lahir dari ide-ide para anak jalanan tersebut. Hal yang paling berkesan bagi Dindin adalah kertas daur ulang berbulu kambing, hasil "kejahilan" anak asuhnya memasukkan bulu kambing ke dalam bubur kertas.

Hasilnya, kertas dengan bulu kambing itu banyak dicari ketika mereka ikut dalam satu pameran. Bahkan, terdapat pembeli dari Jepang yang mencari kertas unik tersebut.

Semakin banyak yang mencari produk dan ingin diberikan pelatihan, semakin para anak jalanan tersebut merasa dihargai sebagai bagian masyarakat yang memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar. Meski hasil yang didapat dengan hidup di jalanan dapat lebih besar dari penghasilan saat ini, mayoritas dari mereka kini secara penuh membantu operasi dari bank sampah itu.

Sampah juga membawa perjalanan hidup Dindin dan anak-anak asuhnya ke tingkat yang lebih tinggi ketika membangun bank sampah pada 2016.

Alasan memulai bank sampah yang kini menjadi Bank Sampah Induk (BSI) Kumala dan Yayasan Kreatif Usaha Mandiri Alami (Kumala) sederhana. Bagi ayah tiga anak itu, selain membantu mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat produk daur ulang, sekaligus memberikan kegiatan bermanfaat kepada anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan.

Sama dengan produk daur ulang, mengoperasikan bank sampah juga diwarnai dengan beragam tantangan.

Mereka menghadapi tantangan internal dengan kebutuhan dana dan beberapa kali didatangi oleh aparat akibat anak asuhnya yang tertangkap. Terdapat pula isu eksternal karena penolakan lingkungan akibat lokasi itu menjadi tempat berkumpulnya sampah sungguhan dan anak jalanan yang kerap distigma sebagai "sampah masyarakat".

Dindin dan anak asuhnya terus berupaya perlahan membangun kepercayaan dari masyarakat, dimulai dari anak-anak asuhnya tidak hanya diberikan kemampuan untuk bertahan hidup dengan produk daur ulang, tapi juga dibimbing tentang keteraturan, norma masyarakat dan disiplin yang menghasilkan perubahan sikap.

Waktu kembali menjadi jawaban untuk memecahkan beragam masalah, dimulai dari menabung sampah yang hanya dilakukan oleh anggota komunitas, kini bank sampah itu berstatus sebagai bank sampah induk pada 2023. Nasabah awal-awal banyak yang berasal dari Tanjung Priok, kebanyakan berasal dari luar wilayah itu.

BSI itu saat ini membina 34 bank sampah unit dan memiliki 348 nasabah individu, enam nasabah sekolah, tujuh nasabah perusahaan dan dua nasabah instansi pemerintah.

Tidak hanya itu, 11 RT yang berada di sekitar bank sampah di Tanjung Priok juga kini menyetor sampah untuk didaur ulang.

BSI itu sendiri memiliki kapasitas menampung 8-10 ton sampah plastik, yang ditargetkan akan meningkat menjadi 12-14 ton dalam bulan ini. Selain juga menerima pesanan untuk membuat beragam produk dengan menggunakan bahan daur ulang.

Waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat, dan, bahkan keluarganya sendiri, adalah sesuatu yang wajar, mengingat masih banyak prasangka buruk diberikan kepada anak jalanan dan beragam aktivitas mereka.

Tag
Share