Dokter Ibu

Oleh : Dahlan Iskan--

"Saya kan double minoritas. Saya Tionghoa. Saya Kristen," ujar Deny. 

Memang Deny sempat "dicurigai". Yakni saat Unand memberinya beasiswa berkat prestasinya. Lalu ada yang mempersoalkan: orang mampu kok mendapat beasiswa.  

Dikira semua Tiinghoa itu mampu. Deny dipanggil pimpinan Unand. Saat itulah Deny menjelaskan: kalau mampu mengapa saat kuliah saya jalan kaki lima kilometer. Pulang pergi. 

Setelah jadi dokter Deny tidak mau jadi pegawai negeri. Ia jadi dokter di rumah sakit swasta. Awalnya di RS Eka milik Sinar Mas di Riau. Lama Deny bertugas di Riau. Sampai mampu membeli rumah di Pekanbaru. 

Sang mama sempat tahu anaknyi menjadi dokter. Sangat bahagia. Satu-satunya dokter dari lima bersaudara. Maka sang mama selalu diajak Deny satu rumah ke kota mana pun Deny berdinas.  

Saat di Riau itulah Deny mengambil gelar master manajemen. Ia banyak mendapat tawaran kuliah spesialis: tidak mampu bayar. 

Juga tidak mau kehilangan penghasilan akibat kuliah lagi. Ia bertekad memilih jalur manajerial. Bukan jalur klinis. 

Pun di tempat tugasnya yang baru sekarang ini Deny juga di lingkungan manajemen: Kepala Divisi Bisnis RS Mayapada Surabaya. 

Tentu Deny sering dapat pertanyaan: lulusan terbaik kok hanya jadi dokter umum. Deny tidak menggubris. Ia tidak mungkin menjelaskan kalau semua itu lantaran sayang mama. 

"Dulu saya jalan kaki. Sekarang punya mobil. Itu sudah satu kemajuan," ujarnya. "Dari pada yang dulu sudah naik mobil dan setelah jadi spesialis juga tetap naik mobil," guraunya. 

Sang mama meninggal dunia tahun lalu. Usia 82 tahun. Dikremasi.  

Apakah kini Deny mau kawin? 

Deny sudah lama kawin. Kawin umur 32 tahun. 

"Saya dijodohkan oleh teman. Waktu itu saya menentukan syarat: saya mau kawin asal calon istri berkomitmen mau merawat ibu saya," katanya. 

Komitmen itu dipenuhi oleh sang istri. Sampai yang mertua meninggal dunia di Surabaya.  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan