Disesuaikan Dengan Keseharian Masyarakat Suku Bajau yang Nomaden
BELAJAR BERSAMA: Vounder atau penggagas Sikola Bajalan Agustia. FOTO : ANTARA/LA ODE MUH DEDEN SAPUTRA--
Seiring berjalannya waktu, sekolah nonformal itu telah mendampingi dua desa, yakni Desa Mola Nelayan Bakti dan Desa Mola Selatan. Dari dua desa itu awalnya ada sekitar 100 anak yang belajar, namun jumlah kemudian berkurang.
Satu hal yang berbeda dalam pembelajaran di sekolah itu adalah metode yang digunakan yang berbeda dengan cara pembelajaran anak-anak di darat. Anak-anak Suku Bajau, yang kesehariannya di laut tidak cocok dengan metode-metode pembelajaran dengan pola di darat.
Agustia dan tim kemudian membuat dan menggunakan metode mendongeng, dengan isi cerita sesuai dengan karakter anak-anak laut itu. Materi dongeng itu bercerita mengenai kehidupan masyarakat Bajau, tentang bagaimana anak-anak nelayan, cara mencari ikan, dan lain sebagainya.
Selain itu juga dibuatkan permainan dengan tema mengenai kehidupan di laut dan nelayan. Pembelajaran itu memuat mengenai jenis-jenis ikan dalam Bahasa Indonesia, sehingga anak Suku Bajau itu tidak hanya tahu jenis ikan dalam bahasa ibu mereka.
Selain nama-nama ikan, mereka juga diajari sebutan untuk bagian-bagian dari ikan.
Agustia mempunyai cita-cita dan keinginan agar model sekolah yang digagasnya itu juga diterapkan di daerah lain yang basis masyarakatnya berada di pantau atau laut.
Saat ini, sekolah nonformal di Desa Mola Nelayan Bakti dan Mola Selatan itu dilakukan sekali pertemuan dalam satu pekan, yakni di Hari Sabtu dan Minggu. Hal itu dilakukan menyesuaikan dengan jumlah sukarelawan yang terlibat untuk mendampingi anak-anak Bajau itu belajar. Dari total sukarelawan 50 orang, yang saat ini aktif sekitar 10 hingga 20 orang.
Para sukarelawan itu berasal dari beragam jenjang pendidikan, terutama lulus SMA. Selain itu ada yang aktivis, mahasiswa, hingga terdapat juga aparatur sipil negara atau ASN. Dalam perekrutan sukarelawan, tidak terlalu memprioritaskan jenjang pendidikan, namun lebih pada kerelaan diri untuk membantu anak-anak Suku Bajau bertumbuh dan berkembang pengetahuannya.
Untuk lebih mendekatkan program itu dengan masyarakat, Agustia berencana merekrut kaum muda Suku Bajau sendiri, sehingga lebih leluasa untuk mengajar adik-adiknya. Meskipun demikian, masyarakat dari luar suku itu tetap akan diberi kesempatan untuk ikut andil dalam perjuangan mencerdaskan anak bangsa di sekolah itu.
Sementara itu, salah seorang warga Mola Nelayan Bakti yang juga masyarakat Suku Bajau Wa Susi menyampaikan bahwa pihaknya selalu menyediakan teras rumahnya untuk digunakan anak-anak yang mau belajar membaca dan menulis di sekolah gagasan Agustia. Bahkan, sesekali dirinya juga menyediakan makanan ringan untuk anak-anak tersebut. Apalagi anak dari Wa Susi juga ikut belajar bersama anak lainnya.
Dia menilai, metode yang digunakan oleh Agustia dan para relawannya tersebut sangat efektif bagi anak-anak Suku Bajau untuk bisa membaca dan menulis.
Aapalagi, proses belajarnya juga bisa diikuti oleh anak-anak dengan riang gembira karena menggunakan beragam metode, termasuk permainan. Apa yang dilakukan Agustia merupakan wujud kepedulian warga negara untuk ikut mencerdaskan sesamanya.
Agustia menyampaikan bahwa selama ini upaya dirinya dan pra relawan juga mendapat perhatian dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Pemerintah Kabupaten Wakatobi, yang selalu memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan.
Dia antara dukungan itu Dinas Perpustakaan dan Kearsipan menyiapkan ruangan ketika anak-anak binaan mendakan kunjungan ke perpustakaan, termasuk ketika ada lomba literasi, para siswa Agustia juga dilibatkan.
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemkab Wakatobi juga memberikan dukungan, seperti kelengkapan berkas-berkas yang membutuhkan pengakuan dari instansi pemerintahan, dinas tersebut turut dilibatkan.