Gunakan Gedogan, Sudah Menenun Sejak Kelas 5 SD
PERAJIN TENUN: Perajin tenun bernama Nita Setiawati sedang menenun kain dalam gelaran Karya Kreatif NTB di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (24/8/2024). --
Merawat Wastra Tenun NTB Dari Gempuran Zaman
Nita Setiawati mendongak saat seorang pengunjung bertanya tentang wastra tenun bermotif bengkuang yang sedang ia buat menggunakan gedogan tradisional.
TEPAT di belakang punggungnya berjajar enam lembar kain tenun beragam warna yang menggantung pada hanger kayu dan sesekali berayun mengikuti arahan kibasan angin.
"Tenun Bima masih menggunakan cara gedogan seperti ini, sedangkan tenun lain sudah pakai mesin," kata perempuan berusia 32 tahun itu.
Bagi penduduk Bima, menenun adalah keterampilan yang wajib dimiliki tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Nita telah menenun sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar hingga usianya kini menginjak kepala tiga dan dikaruniai dua anak.
Ia menunjukkan ketrampilannya menenun secara langsung dalam gelaran Karya Kreatif NTB yang disandingkan dengan Lombok Sumbawa Tenun Festival di Epicentrum Lombok Mall, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Pagelaran itu diinisiasi jajaran Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada 24 sampai 25 Agustus 2024. Kegiatan ini menjadi perayaan yang memperkuat eksistensi tenun dan perajin di tengah gempuran produk mode cepat atau fast fashion yang diproduksi secara massal dengan biaya rendah.
Aktivitas menenun menggunakan gedogan tradisional adalah upaya merawat tradisi. Suara hentakan belida kayu bak irama alat musik mengalun ke berbagai penjuru memadatkan sulaman benang.
Gerakan tangan yang piawai menggunakan suri menjadi penanda ketekunan yang ditempa oleh waktu dan kesabaran.
Bagi masyarakat Bima yang mendiami wilayah timur Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, aktivitas menenun bukan sekadar untuk memenuhi perlengkapan sandang melainkan juga terselip tiga kekuatan utama jiwa manusia berupa cipta, rasa, dan karsa.
Setiap lembar kain tenun menampilkan cerminan jiwa perajin dan kondisi lingkungan. Itulah mengapa motif tenun cenderung lebih banyak menggambarkan tentang bunga, tumbuhan-tumbuhan, dan rumah adat.
Sebuah jurnal tentang perkembangan motif kain tenun Bima dari Jurusan Teknologi Industri Universitas Pendidikan Ganesha mengungkapkan kain tenun yang dibuat oleh para perajin tidak hanya untuk tujuan fungsional maupun aspek adat saja, namun kain tenun juga dibuat berdasarkan aspek sosial, estetika, maupun ekonomi.
Nita yang telah menenun selama dua dekade bercerita bahwa proses pengerjaan selembar kain tenun Bima berukuran lebar 60 sentimeter dan panjang 4 meter membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari.
Harga jual selembar kain tenun dibanderol Rp800 ribu. Bila motif cenderung rumit dan memakai pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan, maka harga selembar kain tenun tersebut bisa menembus angka jutaan rupiah.