Warisan Tambang Bawah Tanah Tertua di Asia Tenggara

KANTOR UTAMA: Gedung kantor utama PT Bukit Asam (Persero) Tbk Unit Pertambangan Ombilin (UPO) di Sawahlunto, Sumatera Barat. FOTO: ANTARA/ADE IRMA JUNIDA --

Menyusuri Jejak Teknologi Belanda di Tambang Ombilin

Sawahlunto, kota yang berjarak sekitar 100 km dari Padang itu ternyata menyimpan keunikan tersendiri karena merupakan kota tambang batu bara terkenal pada zaman kolonial Belanda. Seperti apa ceritanya?

---

SUMATERA Barat identik dengan rendang, rumah gadang, hingga budaya merantaunya. Sejumlah kota di provinsi ini tidak kalah terkenal, misalnya, Bukittinggi yang punya jam gadang, atau Padang yang pernah jadi kota pelabuhan terpenting di zaman kolonial.

Begitu pula dengan Sawahlunto. Kota ini terkenal sebagai Kota Tambang.

Sawahlunto, tepatnya Ombilin, bahkan telah menyandang titel World Heritage alias Situs Warisan Dunia dari UNESCO atas warisan tambang batu bara bawah tanah terbesar dan tertua di Asia Tenggara pada 2019.

Warisan Budaya Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS/Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto) dinilai sebagai contoh luar biasa dari teknologi awal yang dibangun para insinyur Eropa untuk menambang batu bara di wilayah koloni mereka.

BACA JUGA:Gubernur Al Haris Teken MoU TPA dan SPAM Regional Kerinci - Sungai Penuh

BACA JUGA:Gelar Pasar Murah di 11 Kecamatan

Sejarah Penambangan Pada Masa Kolonial

Eksploitasi batu bara di Ombilin dimulai saat Willem Hendrik De Greve menemukan potensi deposit tambang batu bara Ombilin pada 1868. Temuan "emas hitam" itu begitu diperjuangkan pemerintah kolonial Belanda yang kala itu sudah masuk masa revolusi industri.Meskipun lokasinya susah diakses, Belanda berhasil membangun kawasan industri tambang batu bara bawah tanah di Ombilin. Negeri Kincir Angin butuh waktu sekitar 10 tahun untuk membangun infrastruktur tambang bawah tanah.

Selain membangun infrastruktur tambang, pengembangan tambang batu bara juga dilengkapi dengan transportasi yang khusus untuk membawa keperluan pembangunan tambang sekaligus pengangkut batu bara untuk dikirimkan ke tempat lain.

Jalur kereta api dari Padang menuju Sawahlunto pun mulai dibangun pada 1887. Namun, jalur yang dibangun bukan jalur rel kereta biasa lantaran kontur tanah di kawasan Lembah Anai, memiliki tingkat kecuraman ekstrem. Konstruksi khusus hingga mesin lokomotif bergerigi dibutuhkan untuk mengendalikan laju kereta api.

Bahkan, angkutan batu bara dibagi menjadi setidaknya tiga pergantian lokomotif. Pertama, dari Sawahlunto hingga Padang Panjang, dilanjutkan dari Padang Panjang hingga Kayu Tanam, dan kemudian dari Kayu Tanam menuju Padang. Pergantian lokomotif ini disesuaikan dengan kemampuan kereta api agar dapat menempuh jalur yang ada.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan