Agar tenun menjadi produk yang kompetitif, maka biaya produksi berupa tenaga kerja, waktu pengerjaan, dan harga bahan baku harus bisa ditekan seminimal mungkin.
Konten lokal tenun hanya ada pada proses pembuatan, sedangkan bahan baku berupa benang sebagian besar masih didatangkan dari luar negeri seperti China dan India. Fakta itulah yang menyebabkan harga kain tenun per lembar tidak ada yang murah dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas menengah ke atas.
Dalam pohon bisnis, pembagian segmentasi pasar sangat penting agar produk wastra bisa menjangkau semua lapisan konsumen.
Bahkan sebuah merek fesyen terkenal yang menjual jas jutaan rupiah juga memproduksi sapu tangan yang hanya dijual puluhan ribu rupiah. Industri tenun harus belajar bagaimana menciptakan pasar yang luas dengan harga terjangkau oleh semua kalangan.
Keistimewaan nilai budaya yang dimiliki kain tenun tentu tidak cukup sebagai modal untuk bertahan di tengah persaingan industri fesyen yang bervariasi dan dinamis.
Melalui ruang-ruang kreatif para desainer, kain tenun perlahan mulai merambat masuk ke berbagai produk turunan seperti baju, celana, tas, maupun barang suvenir.
Olah bentuk tenun tidak lagi hanya sebatas lembaran kain atau sarung. Tenun bertransformasi ke mode yang lebih sederhana.
Slogan Bangga Buatan Indonesia turut memperkuat aksen para desainer dan penenun dalam menciptakan berbagai mode kreatif yang sarat nilai budaya, namun juga kompetitif dari segi harga.
Kain tenun harus dapat mengambil peluang dalam industri fesyen global. Tren berbusana yang memanfaatkan tenun menjadi magnet tersendiri bagi generasi tua maupun generasi muda.
Selembar kain tenun utuh yang semula dijual jutaan rupiah dan hanya mampu dibeli kalangan tertentu harus bisa juga dinikmati kalangan bawah melalui produk-produk turun yang beragam. Pasar tenun harus diperluas menjadi lebih inklusif seiring dengan perkembangan masif industri mode saat ini. (ant)