Makamnya Pertama Kali Ditemukan Pada Tahun 1959

Jumat 20 Sep 2024 - 20:30 WIB
Editor : Jurnal

Meneladani Malahayati Dalam Wisata di Aceh Besar

Ketika membicarakan Aceh, kebanyakan orang hanya mengenal lokasi wisata di Banda Aceh ataupun Sabang. Padahal, Aceh Besar yang merupakan kabupaten paling barat di Indonesia, memiliki harta karun sejarah yang ingatannya harus dirawat oleh generasi muda.

 

JEJAK sejarah itu tidak sengaja ditemui ketika menyusuri perjalanan menuju Pelabuhan Malahayati yang berada di Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Dengan mobil, waktu perjalanan dari Banda Aceh menuju Lamreh ditempuh selama kurang lebih 1 jam.

Pada awalnya, perjalanan kali ini bertujuan untuk mencari Matahari terbenam di ufuk Aceh Besar. Memandangnya dari tebing sambil makan kacang rebus, tampaknya akan menjadi pengalaman menyenangkan untuk menghabiskan hari-hari terakhir di Provinsi Aceh.

Namun, mata ini kerap salah fokus dengan banyaknya cagar dan situs budaya yang ditemui selama perjalanan. Mulai dari benteng, museum, hingga makam pahlawan Laksamana Malahayati. Karena itu, rasanya tidak lengkap apabila kunjungan wisata ini tidak mendatangi secara langsung makam pahlawan yang namanya diabadikan menjadi nama banyak tempat itu. Ia adalah Malahayati.

Makam Laksamana Malahayati

Perjalanan menuju Makam Laksamana Malahayati dimulai dari Benteng Iskandar Muda. Di sana, masyarakat bisa melihat secara langsung benteng yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada abad ke-15 Masehi sebagai bentuk perlawanan Kesultanan Aceh terhadap pasukan Portugis. Kemudian, perjalanan dilanjutkan ke makam yang tak jauh dari benteng.

Sebelum menceritakan lebih lanjut tentang kunjungan ke makam Malahayati, tak lengkap bila belum menjelaskan kehebatan pahlawan itu.

Menurut buku “Malahayati Srikandi dari Aceh” karya Solichin Alam yang diterbitkan pada tahun 1995, Keumala Hayati adalah nama asli  Malahayati. Ia merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah. Apabila ditarik secara garis keturunan, dapat diketahui bahwa Malahayati memiliki kekerabatan dengan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Malahayati merupakan lulusan Akademi Militer Baitul Maqdis. Di sana ia bertemu dengan suaminya yang bernama Laksamana Zainal Abidin. Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah Al-Mukammil, terjadi pertempuran laut antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis. Suaminya yang ia cintai gugur dalam peristiwa itu.

Disulut rasa marah dan geram, Malahayati yang  memiliki jabatan sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam, kemudian mengajukan permohonan kepada Sultan Alaiddin untuk membentuk suatu armada yang prajurit-prajuritnya terdiri atas janda yang suaminya gugur dalam Pertempuran Teluk Haru. Permohonannya pun dikabulkan. Armada tersebut kemudian dinamakan Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dan berpangkal di Teluk Lamreh Kreung Raya.

Armada Inong Balee pada awalnya hanya berisi 1.000 orang janda. Seiring dengan perkembangannya, isi armada tersebut tidak hanya janda, tetapi juga gadis-gadis muda yang gagah dan berani.

Salah satu kisah kehebatan Laksamana Malahayati dan pasukannya adalah ketika kedatangan kapal Belanda di Banda Aceh pada 21 Juni 1596 yang berada di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.

Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik. Akan tetapi, Cornelis dan saudara kandungnya, Frederijk de Houtman, mengkhianati kepercayaan Sultan Alaiddin dengan memanipulasi dagang hingga menghasut masyarakat setempat.

Kategori :

Terkait