Malahayati selaku Panglima Armada Inong Balee pun ditugaskan untuk melawan pengkhianatan yang dilakukan de Houtman bersaudara. Ia bersama pasukannya menyerbu kapal-kapal Belanda yang menyamar sebagai kapal dagang.
Dalam pertempuran satu lawan satu di atas geladak kapal-kapal Belanda, Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Malahayati sendiri dengan rencongnya, sementara Frederijk ditawan dan dijebloskan ke dalam penjara sampai 2 tahun lamanya.
Kegigihan Malahayati tersebut pun menjadi kisah yang menginspirasi banyak orang.
Penulis pun memberikan penghormatan atas jasa-jasa Malahayati dengan memanjatkan doa sesaat sampai di makamnya.
Pengunjung yang datang disambut dengan papan bertuliskan “Selamat Datang di Makam Pahlawan Laksamana Keumala Hayati” tepat di dekat jalan raya utama untuk menandakan adanya makam yang berlokasi di tengah-tengah permukiman warga.
Untuk mencapai makam yang berada di atas bukit, pengunjung yang datang harus menjangkau jalan menanjak dengan sepeda motor atau mobil. Sesampai di bangunan makam pun, pengunjung harus kembali menaiki sekitar 70 anak tangga untuk ke tengah makam.
Suasana syahdu dan hening menemani kedatangan penulis saat tiba pada sore hari. Di Aceh, jam-jam tersebut adalah waktu untuk bersiap sebelum melaksanakan shalat maghrib. Pada saat itu, sama sekali tidak ada pengunjung yang berziarah ataupun sekadar berkunjung. Terlebih, saat itu adalah hari Senin yang merupakan hari kerja.
Bersama sopir yang menjadi pemandu, penulis menaiki anak tangga sambil membaca surah Al-Fatihah sebagai bentuk penghormatan kepada Malahayati.
Sesampainya di atas, penulis mendapati tiga nisan berwarna putih. Lantaran tak mengerti nisan itu milik siapa saja, penulis pun berjalan turun ke bukit dan bertemu Rajeski, juru kunci makam tersebut.
Ia menjelaskan nisan pertama adalah nisan Malahayati yang memiliki ciri khas bentuk sayap pada bagian badannya. Selain itu, terdapat tulisan kaligrafi Arab kuno pada bagian permukaannya. Kemudian, nisan di sampingnya adalah milik makam almarhum suami Malahayati, Laksamana Zainal Abidin. Terakhir, nisan yang berukuran paling kecil adalah milik anak Malahayati.
Sambil meletakkan peralatan kerjanya, Rajeski bercerita bahwa kakek buyutnya adalah orang pertama yang menemukan makam Malahayati di tanah miliknya sendiri.
“Makam ini dijaga secara turun-temurun. Pertama kali ditemukan oleh kakek buyut saya yang disebut sebagai Hassan Langkuta oleh warga sini, pada tahun 1959,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa tiga nisan masih itu mempertahankan batu aslinya. Untuk membuktikan keabsahan bahwa itu adalah benar-benar makam Malahayati, kakek buyutnya pada saat itu melaporkan penemuan makam tersebut kepada pihak terkait di Banda Aceh.
Kemudian, tulisan arab dan jenis batu yang digunakan pada nisan diteliti lebih lanjut untuk mengetahui apakah benar ini adalah makam Malahayati. Setelah terbukti benar, keluarganya diberikan tanggung jawab untuk merawatnya. Kakek buyutnya juga mewakafkan tanah tersebut untuk digunakan sebagai situs budaya.
Adapun Rajeski merupakan keturunan keempat dan menjadi juru kunci yang terakhir. Apabila Rajeski ingin berhenti meneruskan, maka kepercayaan itu bisa ia serahkan kepada anaknya, keponakan ataupun sepupunya.
Selama menjadi juru kunci, Rajeski merasakan berbagai suka dan duka. Ia mengungkapkan waktu teramai masyarakat berbondong-bondong berziarah di Makam Laksamana Malahayati adalah saat Hari Pahlawan yang diperingati pada 10 November dan hari ibu pada 22 Desember.