Indonesia HOTS (Menalar Pikir Netizen)

Senin 23 Sep 2024 - 20:24 WIB
Oleh: Muhammad Akta

Oleh: Gamaliel Septian Airlanda

Berita seputar Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 mudah diakses di dunia maya. Share, like, comment, unlike adalah rupa-rupa yang mewarnai negeri ini untuk mudah viral dan dikenal masyarakat dunia. Bukan perkara sulit bagi jutaan masyarakat Indonesia untuk membuat sebuah berita menjadi trending topic. Bahasan tentang wujud baru Istana Negara di Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak luput dari komentar netizen. Ketimbang ikut menulis komentar yang mudah tenggelam, Aku lebih senang menganalisis dalam bentuk artikel opini. 

Kucurahkan pikiran abstrak menjadi tulisan layaknya netizen namun dalam bentuk elegan yang berbeda. Pembahasan bentuk Garuda di Istana Negara IKN membuat suasana di jagad maya menjadi hot alias memanas. Sebaliknya, pikiranku sebagai praktisi pendidikan tergerak untuk membahasnya ke arah HOTS (Higher Order Thinking Skills). Dua kata yang sama tapi punya makna yang sangat jauh berbeda. Mari dalami apa maksudnya !

Fakta dunia maya menunjukkan banyaknya komentar netizen yang kurang puas dengan wujud pembangunan Istana Negara IKN. Bahkan istilah Istana Kelelawar banyak disematkan di berita-berita nasional. Saling serang komentar digital satu sama lain mewarnai persiapan upacara hari kemerdekaan Indonesia ke 79 kala itu. Tidak lupa sang kreator turut angkat bicara menjelaskan karya yang telah dihasilkannya. Menteri, artis, pejabat partai bahkan tidak lupa guru dan dosen pun ikut mengisi kolom komentar dalam berbagai tayangan media. Hot….. panas dan makin memanas. Titik didih berita ini semakin memanas ketika Presiden Republik Indonesia turut menyampaikan pikirannya. Beliau mengatakan: “Saya mencium bau kolonial setiap kali ada di Istana Negara”. Tentu yang dimaksud adalah Istana Negara yang lama, bangunan bekas Belanda. Kalau dipikir, memang semua Istana Negara di Indonesia, adalah bangunan bekas pemerintahan kolonial Hindia Belanda. 

Tulisan ini bisa saja turut memperparah kasus yang sebenarnya sudah reda akibat tertimpa berita panas lainnya. Tetapi biarkan nalar pendidikan juga berkobar untuk ikut menganalisisnya. Selain kata hot dalam bahasa Inggris yang berarti panas, HOTS seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah akronim populer yang telah berkembang sebelum lahirnya Kurikulum Merdeka. Eksistensi akronim ini masih terus digunakan di sekolah-sekolah dan Universitas hingga sekarang. Prinsip dasar HOTS adalah peningkatan keterampilan berpikir manusia hingga tingkat tinggi. HOTS akan berguna untuk penyelesaian permasalahan sehari-hari dalam bentuk nalar dan solusi. Semakin tinggi HOTS seseorang maka dirinya akan mudah membuat solusi dalam hidup. Sebaliknya jika masih berada pada level rendah maka seseorang cenderung membuat sebuah masalah menjadi besar tanpa solusi. Mirip siapa? Saya gak berani tulis kalau itu.

Ada 3 (tiga) tingkatan pengetahuan HOTS yang dibuat oleh Bloom, yaitu C4-C6. Sedangkan C1-C3 disebut dengan LOTS (Lower Order Thinking Skills). Bagi guru, dosen, mahasiswa calon guru, mahasiswa pendidikan profesi guru, HOTS adalah makanan sehari-hari yang wajib disantap entah enak atau tidak. Bagi siswa di sekolah HOTS adalah cara untuk meningkatkan pengetahuan setiap harinya. Tingkat keempat (C4) disebut menganalisis, kelima (C5) disebut mengevaluasi, keenam (C6) disebut menciptakan atau mengkreasikan. Hal ini berkorelasi kuat dengan proses belajar seseorang hingga mampu mencapai tingkatan tertentu. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendeskripsikan belajar adalah proses berubahnya tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Maka hal ini berlaku secara umum, tidak hanya orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Belajar pun berlaku untuk netizen termasuk urusan HOTS ini. 

Terlepas dari keberpihakan politik atau kepentingan tertentu, netizen perlu memahami bahwa usia Indonesia telah mencapai 79 tahun. Seperti halnya pembelajaran berdiferensiasi, tidak ada yang bisa menyamakan perkembangan usia sebuah negara dengan tingkat kemajuannya. Ada negara yang telah berdaulat ratusan tahun bahkan sampai hari ini urusannya hanya perang pembagian wilayah. Ada negara dengan usia relatif sama telah berhasil menjadi pusat peradaban teknologi dunia. Namun, Indonesia ingin jadi apa? Pusat netizen nyinyir dunia? 

Lupakan tentang netizen, kita pelajari konteks HOTS pada peristiwa Istana Negara IKN. Pembangunan sebuah gedung adalah bentuk curahan pikiran manusia yang nyata. Jika dilakukan sebuah analisis pemikiran, Istana Negara IKN lahir dari proses: mengamati, memahami, meniru. Ketiga proses itu masuk dalam kategori LOTS. Mengamati bangunan yang telah dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda, memahami dan menggunakan setiap sudut bangunan sesuai fungsinya dan meniru konsep filosofinya. Hal ini terbukti ketika melihat keterkaitan arti dan fungsi dari Istana Negara melalui sumber literasi dari laman pemerintah. 

Membaca penjelasan di laman setneg.go.id, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa Istana Merdeka Jakarta punya fungsi sebagai kediaman J.A. Van Braam (1796) kemudian dialihfungsikan sebagai pusat pemerintahan di tahun 1816. Sehingga secara singkat istana ini adalah sebuah rumah kediaman yang beralih menjadi kegiatan pemerintahan bagi negara kolonial. Sudah 78 tahun, ikon negara ini berdiri dengan warisan pemikiran kolonial. Diperlukan seseorang yang mulai jenuh dengan sebuah warisan pemikiran. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia berulang kali merayakan Hari Kemerdekaan di sebuah rumah Belanda yang dialihfungsikan sebagai pusat pemerintahan. Ironis bukan? Hal itu serasa kita merayakan ulang tahun di rumah orang lain yang telah memeras kita. Sadarkah netizen tentang makna mendalam ini? Susah kalau tidak sadar memang !

Berkaca dari hal tersebut memang sudah saatnya Indonesia beralih dari konsep meniru ataupun menggunakan yang masuk kategori LOTS menjadi HOTS. Tahapan HOTS dimulai dari analisis kemudian evaluasi dan dilanjutkan kreasi atau menciptakan. Gaya pikir manusia selalu merujuk pada pengalaman yang telah dilaluinya selama hidup. Selaras dengan hal tersebut ternyata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah merilis penjelasan tentang Istana Garuda IKN melalui laman kemenparekraf.go.id. Dalam penjelasannya Istana Negara yang kemudian disebut juga Istana Garuda dirancang sebagai “sesosok rumah” yang berasosiasi dengan burung Garuda. Istana ini merupakan sinergi dari seni, sains dan teknologi. Selain itu, fungsi Istana Garuda adalah kantor Presiden sebagai garis depan memimpin sebuah negara. Seluruh penjelasan ini mengingatkan tentang keterkaitan arti dan fungsi dari Istana Merdeka Jakarta. Melalui proses meniru ternyata orang Indonesia berhasil menciptakan kreasi Istana baru sebagai wujud dari level tertinggi HOTS. 

Para pihak pembuat Istana Negara IKN yang juga disebut Istana Garuda perlu diapresiasi. Mereka telah menunjukkan bagaimana proses melihat hingga meniru telah mampu ditransformasikan menjadi karya anak bangsa pada level kreasi tanpa menghilangkan makna aslinya. Kini warisan pikir dari Kolonial telah berhasil dimodifikasi. Sehingga saat kita merayakan Hari Kemerdekaan tidak lagi berada di rumah yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda melainkan telah milik seutuhnya Indonesia. Konsep burung Garudanya, pilarnya, landmark-nya, detail bangunannya asli konsep pikir HOTS Indonesia.

Entah paham atau tidak netizen tentang hal ini. Semua ditentukan oleh pengalamannya dalam memahami literasi informasi. LOTS dan HOTS tidak dapat dipersatukan karena keduanya berada pada level yang berbeda. Tapi HOTS dapat diusahakan seorang melalui pendidikan. Minimal mendidik diri sendiri untuk berpikir lebih komprehensif. Sudahkah ini terjadi? Penutup tulisan ini adalah ajakan refleksi bagi netizen sebelum menggunakan jarinya dalam memberi komentar. Kualitas bangsa tentu dilihat dari masyarakatnya. (Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana)

Kategori :